featured
Liburan bukan sekadar upaya untuk menghindarkan diri dari kejenuhan, terlebih bila dilakukan bersama keluarga. Bahkan diyakini akan mampu meningkatkan kualitas hubungan antar-anggota keluarga.
Beragam cara bisa kita lakukan untuk mengisi waktu liburan, mulai dari rekreasi ke luar kota atau tempat wisata, bersantai di taman kota hingga sekadar memuaskan hobi. Bicara saja mungkin mudah, tetapi sebagian besar orang terkadang merasa sulit menyisihkan dana untuk berlibur. Namun hal ini sebenarnya bisa disiasati. Tidak harus berlibur ke luar negeri atau keluar kota yang jauh, kebersamaan keluarga bisa dijalin dengan bepergian ke suatu tempat yang tidak memerlukan dana transportasi mahal.
Ke taman kota misalnya. Menggunakan bus kota yang tarifnya relatif terjangkau bisa menjadi alternatif yang menjanjikan. Kalaupun ingin menggunakan kendaraan pribadi, biaya bensin pastinya tidak terlalu mahal. Anda pun dapat membuat makanan di rumah untuk dinikmati bersama di taman kota. Lebih murah dan higienis pastinya. Lalu, manfaat apa yang bisa didapat dengan berlibur bersama keluarga?
1. Mengurangi stres
Bayangkan saja, rutinitas yang Anda lakukan setiap harinya pasti tanpa disadari akan membangkitkan stres. Dari sekian banyak penelitian yang pernah dilakukan, perasaan stres akan cenderung menurun setelah berlibur. Boleh dibilang liburan merupakan “obat” mujarab untuk menurunkan stres. Bahkan liburan yang membahagiakan konon dapat menghindarkan Anda akan risiko stroke.
2. Kedekatan antar-anggota keluarga
Kesibukan dan rutinitas harian sering kali membuat anggota keluarga menjadi “jauh” satu sama lain. Bahkan untuk sekadar mencurahkan isi hati pun kadang terlewatkan, mengingat kuantitas pertemuan yang sangat singkat. Nah, berlibur bersama keluarga bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri dan meningkatkan kualitas pertemuan antar-anggota keluarga. Dengan begitu, kedekatan antar-anggota keluarga pun pastinya akan terjalin semakin erat.
3. Luasnya wawasan dan pola pikir
Efek positif liburan lainnya adalah berkembangnya wawasan dan pola pikir. Maklum saja, dengan berlibur di tempat yang baru, Anda dan keluarga pastinya akan lebih mengenal adat istiadat dan kebudayaan daerah setempat, serta menambah pengetahuan Anda akan lingkungan di sekitarnya. Dengan begitu rasa percaya diri dengan sendirinya akan tumbuh lebih baik lagi.
4. Kenangan indah
Kenangan indah akan liburan pastinya akan membuat seluruh anggota keluarga terkenang untuk waktu yang lama. Tanpa disadari, hal ini akan meningkatkan keharmonisan keluarga serta meningkatkan kasih sayang antar-anggota keluarga. Bahkan percaya atau tidak, keluarga yang sering bepergian liburan bersama memiliki tingkat risiko yang rendah terhadap perceraian dibandingkan keluarga yang tidak pernah berlibur bersama.
5. Memiliki kesadaran finansial lebih baik
Kenangan indah saat berlibur bersama keluarga membuat anggota keluarga senantiasa ingin mengulang kembali kebersamaan yang menyenangkan. Ajakan untuk kembali berlibur bersama bisa menjadi pengingat setiap anggota keluarga untuk hidup lebih hemat, menyisihkan uang, serta senantiasa menabung agar impian liburan bersama kembali terwujud. Tentu saja ini merupakan hal yang positif karena anggota keluarga senantiasa diingatkan akan perilaku finansial yang positif dan menghindarkan diri dari perilaku hidup boros.
[qsm quiz=1]
[su_audio url=”http://advisual.kompas.id/nusantara-bertutur/audio/melepas-tukik-di-pulau-kelapa-dua_paman-gery.mp3″]
Akhtar berteriak geli. Bayi penyu sisik di dalam batok kelapa yang dipegangnya menggeliat ingin keluar. Tangan mungil Akhtar hampir saja menumpahkannya.
“Hati-hati, ya. Sini Bunda pegangi dulu,” kata Bunda.
Akhtar mengangguk. Dilihatnya sekeliling pantai, banyak pengunjung hari ini di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu. Ayah, Bunda, dan Akhtar menumpang kapal dari dermaga Pantai Marina Ancol. Perjalanan satu jam yang lumayan melelahkan sirna karena hari ini mereka dapat ikut melepasliarkan tukik.
Bulan ini, terdapat tukik atau bayi penyu berusia tiga hari di penangkaran Pelestarian Penyu Sisik, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Hanya butuh 10 menit untuk sampai ke tempat ini dari dermaga Pulau Kelapa Dua. Pak Rudi, penanggung jawab penangkaran, mengajak para pengunjung untuk ikut melepasliarkan tukik ke lautan lepas.
“Tukik ini dilepas agar bisa hidup di habitat aslinya. Nanti kalau sudah besar, sekitar 20 sampai 30 puluh tahun lagi, mereka akan kembali ke pantai untuk bertelur. Lalu telurnya ditetaskan di penangkaran ini agar tidak dimakan hewan lain seperti kepiting atau burung. Lihat nih, persis seperti sisik kan cangkangnya?” Pak Rudi menunjuk gambar cangkang penyu sisik sesaat sebelum acara dimulai.
Dengan antusias, Akhtar mengajak Ayah untuk ikut mengantre. Pak Rudi memberi satu tukik penyu sisik kepada setiap pengunjung.
Para pengunjung yang sudah membawa tukik, berjajar di sepanjang pantai. Sinar surya sudah mulai tenggelam. Satu per satu tapak kaki mungil tukik membekas di pasir. Ternyata, melepas tukik pun ada tekniknya. Tukik diletakkan di pasir tidak langsung menghadap ke laut, namun menghadap ke pantai. Ini agar tukik dapat mengingat tempat di mana dia lahir dan nantinya akan kembali ke pantai itu untuk bertelur. Wah, menarik sekali. Jadi seperti manusia yang harus ingat dan cinta tanah airnya, gumam Akhtar.
“Eh, jangan membuang plastik di situ, Nak!” ujar Pak Rudi kepada seorang anak setelah acara selesai.
“Nanti kotor ya, Pak?” Akhtar menanggapi.
“Iya. Selain itu penyu akan mati jika banyak sampah plastik di laut.”
“Wah, memangnya kenapa Pak?”
“Plastik di air terlihat seperti alga, makanan penyu sisik di lautan lepas. Plastik itu membuat penyu tersedak dan mati,” jelas Pak Rudi.
Wah, ternyata merawat penyu pun bisa dari hal kecil, seperti tidak membuang sampah plastik sembarangan. Selain juga menjaga lingkungan jadi sehat. Akhtar senang bisa mendapat pengalaman melepasliarkan tukik hari ini. *
[su_note note_color=”#FF9″]
Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Dhita Erdittya
Pendongeng: Paman Gery (IG: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita
[/su_note]
“By The Book”: Buku Favorit dan Kebiasaan Membaca Para Penulis Hebat
[vc_row][vc_column][vc_column_text]Bagaimana jika sebuah buku berisi ulasan-ulasan buku? By the Book, inilah jawabannya.
Menulis, juga membaca, adalah pengalaman personal. Dalam buku By The Book yang disusun Pamela Paul, kita diberi ruang untuk mengintip pengalaman membaca para penulis kondang. Buku-buku yang berpengaruh untuk mereka, penulis favorit, tempat dan waktu ideal untuk membaca, dan lain-lain.
Dalam buku setebal 344 halaman ini, Pamela Paul mengajak kita menyelami kehidupan para penulis dengan cakupan latar belakang yang luas. Memuat mewawancara dengan 65 orang, By The Book menyajikan jangkauan besar luas pengalaman dan pengamatan yang mampu memperdalam pengetahuan dan kemampuan literasi pembacanya. Jawaban dari rangkaian pertanyaan yang dilemparkan kepada novelis, seniman, sampai sejarawan tersohor, membawa kita ke dunia penulis yang direfleksikan melalui referensi dan rekomendasi bacaan mereka. By The Book dapat dikatakan wadah bagi orang-orang tersebut untuk mengungkapkan kekaguman terhadap penulis dan karya-karya lain.
JK Rowling, misalnya. Penulis Harry Potter yang tersohor itu, jika memiliki kesempatan untuk bertemu dengan penulis mana pun, akan bahagia bertemu Charles Dickens. Atau Dan Brown, yang membuat karya fenomenal The Da Vinci Code, berencana membaca karya Malcolm Gladwell, David and Goliath.
Melalui By The Book, kita dapat merasa lebih intim dengan penulis-penulis ini sebab bisa membaca sekelumit pemikiran mereka tentang buku-buku dan penulis lain. Hal ini jugalah yang memotivasi Pamela Paul untuk mewawancarai para penulis ini. Editor rubrik Book Review di The New York Times ini ingin tahu apa yang dibaca seorang penulis yang baik pada waktu senggangnya.
Sebelum bergabung dengan Times, Pamela Paul adalah kontributor majalah Times dan The Economist, dan karyanya telah muncul di The Atlantic, The Washington Post, dan Vogue. Dia dan keluarganya tinggal di New York. Buku ini bukanlah buku pertama yang ia terbitkan. Ia meluncurkan The Starter Marriage and the Future of Matrimony pada 2003 dan Parenting. Inc pada 2009. By the Book sendiri terbit tahun 2015.
Dengan banyaknya wawacara yang dituangkan, bisa jadi buku ini terasa menjemukan. Pertanyaan yang repetitif dan banyaknya percakapan yang ditranskripkan di sini bisa jadi membuat orang kehilangan minat untuk membaca lebih jauh. Upaya Pamela Paul untuk meramu wawancara yang banyak dengan pertanyaan yang sama tentu akan sulit untuk dibuat tidak membosankan.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/2″][vc_column_text]Tapi, jika Anda tergelitik mencari judul-judul buku baru untuk dibaca, buku ini dapat jadi pilihan. Terutama, jika di dalamnya Anda bisa menemukan penulis kegemaran. Mengetahui buku yang direkomendasikan oleh penulis tersohor tentu menarikz. Dengan membaca buku ini, Anda dapat menambah daftar buku untuk dibaca atau dimiliki, sebuah inspirasi bahwa selalu ada buku baru dan penulis hebat untuk dijelajahi. [YOM/Litbang Kompas]/[NOV][/vc_column_text][/vc_column][vc_column width=”1/2″][vc_message message_box_style=”outline” message_box_color=”grey” icon_fontawesome=”fa fa-book”]By the Book
Penulis : Pamela Paul
Penerbit : Picador
Tahun terbit : 2015[/vc_message][/vc_column][/vc_row]
[vc_row][vc_column][vc_column_text]Fallon Chu (Donnie Yen) adalah polisi yang selalu bernasib sial. Meski jago bela diri dan tak kenal takut, sejumlah aksinya justru berakibat kurang baik pada dirinya.
Suatu kali, mestinya Fallon bersiap untuk pemotretan sebelum pernikahan dengan tunangannya (Niki Chow). Namun, ia terjebak dalam sebuah perampokan dan terlibat dalam kejar-kejaran dengan para pelakunya. Rencana pemotretan pun gagal total sehingga Fallon diputus oleh sang pacar.
Bukannya mendapat apresiasi, keberhasilan Fallon menangkap perampok justru mengukuhkan reputasinya sebagai polisi tukang bikin gaduh. Akibatnya, ia pun dimutasi ke bagian pengelolaan barang bukti, tak boleh lagi ke lapangan.
Merasa frustrasi, Fallon melampiaskannya dengan makan. Alhasil, tubuhnya pun melar hingga di atas 100 kilogram. Dari polisi jalanan dengan badan atletis, Fallon berubah wujud menjadi polisi tambun yang tampak sulit bergerak.
Kesempatan muncul ketika Fallon ditugaskan untuk membawa seorang kriminal ke Jepang. Ia berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya. Namun, ternyata tahanan tersebut menjadi incaran sindikat penjahat Jepang. Tanpa diduga pula, Fallon bertemu kembali dengan mantan tunangannya.
Akankah Fallon berhasil mengemban misinya dengan baik? Bagaimana pula kelanjutan hubungannya dengan sang mantan pacar? Enter the Fat Dragon menghadirkan kisah yang lucu dan tak terduga untuk menjawabnya.
“Remake”
Film ini dibuat kembali berdasarkan film bertajuk serupa yang dirilis tahun 1978, dibintangi antara lain oleh aktor laga-komedi Sammo Hung. Film itu sendiri merupakan parodi dari film populer Bruce Lee keluaran 1972, Way of the Dragon. Rujukan ke aktor laga legendaris tersebut dapat ditemui pada sejumlah adegan Enter the Fat Dragon versi baru.
Sebagai film laga-komedi khas Hongkong, Enter the Fat Dragon sangat menghibur. Penonton disuguhi adegan-adegan laga yang intens namun pada saat yang sama juga terasa kocak. Logika tak perlu terlalu dipakai, misalnya ketika mencerna adegan kru televisi yang meliput langsung perkelahian Fallon dengan para perampok di mobil yang melaju kencang.
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/2″][vc_column_text]Seperti diduga, kisah yang membalut berbagai kejadian laga dan pasang-surut hubungan Fallon dengan tunangannya, terjalin secara memikat dan mengaduk perasaaan. Terkadang heroik, ada kalanya sedih, dan dalam banyak kesempatan terasa konyol namun menghibur.
Menarik disimak pula sejumlah pemeran Jepang antara lain Hiro Hayama, Naoto Takenaka, dan Tetsu Watanabe. Duet sutradara dari dua negara Kenji Tanigaki dan Jin Wong berhasil membuat perbedaan budaya antara polisi Hongkong dan Jepang menjadi sumber dagelan yang cukup segar.
Meski tidak dapat dikatakan orisinal, Enter the Fat Dragon boleh jadi merupakan tontonan yang sangat menghibur dan menyenangkan pada genrenya. Dengan dukungan para pemeran papan atas dan kisah yang kuat, film ini wajib ditonton oleh para penggemar film laga aksi bela diri (martial art).[/vc_column_text][/vc_column][vc_column width=”1/2″][vc_message message_box_style=”outline” message_box_color=”warning” icon_fontawesome=”fa fa-film”]Sutradara:
Kenji Tanigaki dan Jin Wong
Produser:
Alex Dong, Connie Wong, Jing Wong, Donnie Yen
Skenario:
Jin Wong
Pemeran:
Donnie Yen, Jessica Jann, Philip Ng, Jing Wong, Naoto Takenaka, Sandra Kwan Yue Ng, Kai-Chung Cheung, Hiro Hayama, Niki Chow, Teresa Mo, Anthony Chan, Tetsu Watanabe, Cho-Lam Wong
Durasi:
96 Menit
Rilisan:
China
Tayang Perdana:
24 Januari 2020[/vc_message][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column][vc_video link=”https://youtu.be/kg-4Au-s4F0″][/vc_column][/vc_row]
[su_audio url=”http://advisual.kompas.id/nusantara-bertutur/audio/melancong-ke-pulau-onrust_kang-acep.mp3″]
Riga baru tiba di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, ketika sebuah kincir menarik perhatiannya.
Dengan mimik penasaran ia menoleh pada Ayah dan bertanya, “Yah, buat apa kincir itu?”
Belum sampai menjawab, Kak Fira Sudah menyahut. Kak Fira berkata, kincir tersebut digunakan untuk menggergaji kayu.
“Kayu? Untuk apa, Kak?”
“Untuk memperbaiki kapal. Dahulu di sini ada galangan kapal besar, Dik.”
Riga mengangguk-angguk sambil melangkah mengikuti jalan setapak. Tidak jauh dari situ terdapat puing-puing bangunan. Kata Bunda, tempat tersebut digunakan untuk pemeriksaan kesehatan jamaah haji di zaman kolonial. Namun, sebelum ke tempat ini, para jemaah haji diperiksa terlebih dulu di Pulau Cipir. Yang sakit tetap di sana, dan yang sehat pindah ke Onrust menggunakan jembatan apung.
“Wah, aku jadi ingin tahu seperti apa dalamnya. Ayo kita ke sana!” ajak Riga seraya berlari mendekat bangunan tadi.
Setiba di sana ia memperhatikan semua sudutnya dengan seksama. Lantas mengeluarkan ponsel dan mengabadikannya.
“Kita ambil batu batanya, yuk, Kak! Buat kenang-kenangan. Biar bisa dipamerin ke teman-teman.” Riga menunjuk batu bata dari puing bangunan di depannya.
Gadis tiga belas tahun itu menggelengkan kepala. “Tidak boleh, Riga. Itu, kan, benda cagar budaya yang dilindungi oleh negara. Kalau mau kenang-kenangan cukup foto saja,” jawab Kak Fira.
“Hmm, kalau begitu aku ukir namaku saja, ya? Biar orang-orang tahu aku pernah kemari.”
“Hus! Apalagi mengukir nama di batu! Itu merusak bangunan bersejarah, Dik. Jangan!”
Bahu Riga turun mendengar ucapan Fira. Namun, tegak kembali begitu melihat deretan tonggak beton yang berjajar rapi.
“Itu apa, Yah?” Riga menggamit lengan Ayah dengan antusiasme.
”Itu pondasi barak jamaah haji, Dik. Jumlahnya tiga puluh lima buah. Tiap baraknya bisa menampung seratus orang.”
“Wah, satu ruangan sebanyak itu? Apa bisa tidur?”
Kak Fira, Ayah, dan Bunda tertawa mendengar ucapan Riga. Mereka berempat memutari tempat itu sejenak sebelum berpindah ke museum.
Di museum ini pengunjung bisa menyaksikan kejayaan Pulau Onrust di masa silam. Lengkap dengan miniatur yang memperlihatkan benteng dan galangan kapal. Juga gambar-gambar dan tiruan pulau semasa menjadi tempat karantina haji.
Tidak hanya itu saja, museum Pulau Onrust juga memamerkan berbagai hasil penggalian arkeologi. Seperti pecahan keramik, botol, dan batu bata.
Sayangnya, setelah itu mereka tidak bisa melihat seperti apa penjara di Pulau Onrust ini. Bangunan penjara di sini sudah rapuh dan membahayakan. Oleh sebab itu, pengunjung dilarang masuk.
Akan tetapi, kekecewaan tersebut tidak bertahan lama. Terobati sewaktu menjelajahi makam dan sisa benteng peninggalan Belanda.
“Bagaimana, Riga? Asyik tidak?” tanya Ayah dalam perjalanan pulang.
”Asyik, Yah! Kapan-kapan kita ke Pulau Onrust lagi ya?”
“Hm, masih ada peninggalan bersejarah di pulau-pulau lainnya di Kepulauan Seribu ini, seperti Pulau Edam, Kelor, dan Cipir,” ucap Kak Fira.
“Wah, boleh juga! Lain waktu kita jelajahi tiga pulau itu!” seru Riga disambut anggukan Kak Fira, Ayah, dan Bunda. *
[su_note note_color=”#FF9″]
Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Afin Yulia
Pendongeng: Kang Acep, Kak Aza, & Kak Fina (yt: acep_yonny)
Ilustrasi: Regina Primalita
[/su_note]
Imlek selalu menciptakan suasana berbeda, terlebih di kota-kota besar dengan populasi warag Tionghoa yang cukup banyak. Jakarta misalnya. Menjelang Imlek, Ibu Kota memerah dengan beragam ornamen.
Bahkan bagi yang bukan orang Tionghoa pun, turut menikmati kemeriahan Imlek bisa menjadi kegiatan menarik. Berikut beberapa aktivitas yang bisa Anda lakukan pada masa-masa Tahun Baru China ini. Dijamin, Anda tak akan mati gaya.
Berjalan-jalan di Glodok
Gang-gang kecil di pusat perbelanjaan ini akan berubah serasa pameran ornamen-ornamen Imlek, mulai dari lentera-lentera merah sampai dengan pohon sakura imitasi. Orang-orang sibuk berbelanja untuk menyiapkan kudapan atau dekorasi di rumah mereka. Musik bernuansa China diputar. Sambil berbaur dalam keramaian atau mungkin memotret, cicipi pula kudapan-kudapan atau santapan yang menggugah selera.
Kulineran
Saat yang tepat bagi indera perasa Anda untuk turut berjelajah. Ada banyak restoran atau kedai di kota ini yang menyajikan makanan China yang lezat, baik yang otentik maupun yang sudah berpadu dengan citarasa lokal. Cicipilah menu-menu andalan restoran China yang kira-kira pas dengan selera Anda, misalnya Wong Fu Kie Hakka, Shanghai Blue 1920, Wing Heng Dimsum, Resto Mandala, Hong He by Angke Restaurant, atau Bubur Kwang Tung.
Tonton barongsai
Barongsai menjadi pertunjukan yang ditunggu-tunggu ketika Imlek tiba. Cara termudah menontonnya, pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Sebagian besar mal yang cukup ternama akan punya program spesial untuk merayakan Imlek. Tempat-tempat ini juga didekorasi khusus untuk menghadirkan suasana Tahun Baru China.
Jajal “patekoan”
Ada sebuah kedai teh, Pantjoran Tea House, yang memelihara tradisi patekoan di bilangan Pinangsia. Ini adalah tradisi memberikan teh secara gratis untuk siapa saja. Tradisi ini bermula ketika pada 1920, seorang kapiten keturunan Tionghoa yang bernama Gan Djie bersama istrinya selalu menaruh delapan teko teh untuk pedagang keliling atau orang-orang yang kelelahan dan menumpang berteduh di depan tokonya.
Sampai saat ini, kebiasaan ini masih dijalankan setiap hari. Delapan teko teh, ada yang manis dan tawar, dijajarkan di meja panjang di depan Pantjoran Tea House pada pukul 08.00–19.00. Disiapkan pula gelas-gelas untuk meminum teh. Siapa pun boleh mengambilnya. Sambil berkeliling daerah Pecinan, menjajal patekoan pada waktu Imlek tentu menjadi pengalaman seru.
Acara di ruang publik
Pemprov DKI Jakarta akan menyelengarakan perayaan Imlek tahun ini di beberapa titik di ruang publik pada 15 Januari–9 Februari 2020. Ada parade dan ragam hiburan yang digelar, antara lain pertunjukan wayang kulit China Jawa, peragaan baju adat, dan festival makanan. Acara banyak berpusat di Thamrin 10. Selain terdapat beragam kuliner Tionghoa, di tempat ini akan disajikan pula pertunjukan seperti wayang potehi, barongsai, penampilan wushu, dan festival peranakan.
[vc_row][vc_column][vc_column_text]Di sekitar kita, barangkali ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna, tidak bermakna, atau tidak berdampak apa pun. Bullshit jobs, begitu antropolog David Graeber menyebutnya. Pekerjaan itu direka-reka atau dibuat tampak diperlukan hanya untuk membuat seseorang seolah-olah bekerja. Graeber mengulasnya dengan gamblang di bukunya yang berjudul Bullshit Jobs: A Theory.
Pada 1930, seorang ekonom Inggris, John Maynard Keyness memprediksi pada akhir abad ke-19, negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika akan mencapai jam kerja 14 jam per minggu. Mengapa? Karena teknologi diasumsikan akan sudah sangat canggih sehingga banyak pekerjaan-pekerjaan akan tergantikan oleh automasi mesin. Namun, apa yang terjadi? Meleset dari prediksi Keyness, ternyata hingga saat ini, negara-negara maju masih berkutat di 40 jam kerja per minggu meskipun teknologi sudah maju dengan canggihnya.
Kondisi ini diyakini David Graeber, seorang profesor di bidang antropologi, sebagai kondisi yang selanjutnya justru memicu masalah sosial yaitu munculnya pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna keberadaannya atau yang dia sebut “bullshit jobs”. Hal inilah yang menjadi dasar Graeber menulis sebuah tulisan bernada provokasi di majalah Strike! pada 2013 yang selanjutnya menjadi viral dan kontroversial. Sejak saat itu, banyak sekali bermunculan opini opini pada media-media massa, blog, maupun media-media sosial tentang tulisan Graeber itu.
Bahkan, setelah viral, Graeber membuat sebuah penelitian berdasarkan opini-opini dan kisah-kisah yang masuk ke surat elektronik maupun kanal-kanal komunikasinya. Dari data-data yang masuk tersebut, Graeber membuat sebuah analisis kualitatif yang terus didalaminya hingga membuahkan sebuah teori mengenai bullshit jobs yang kemudian ia bukukan ini.
Bullshit Jobs: A Theory adalah sebuah bentuk perhatian dan analisis Graeber terhadap fenomena pekerjaan omong kosong. Apakah mungkin pekerjaan-pekerjaan ini ada di sekitar kita?
Buku ini menarik untuk dibaca karena berisikan banyak cerita dari para pekerja yang merasa tidak bahagia, merasa tidak berkontribusi positif terhadap khalayak, maupun yang merasa konyol karena pekerjaan yang ia lakukan benar-benar tak masuk akal dan tak ada gunanya.
Dalam buku ini, Graeber membagi bullshit jobs menjadi lima tipe. Flunkies, goons, duct tapers, box tickers, dan taskmasters. Tipe flunkies pada dasarnya adalah jenis pekerjaan yang tercipta untuk membuat orang lain terlihat penting. Contoh dari tipe flungkies ini, misalnya pelayan pembuka pintu, petugas pemencet tombol lift, dan sebagainya.
Kedua adalah tipe goons. Goons yang jika diterjemahkan adalah pelaku kriminal ini, tentu adalah definisi metafora yang dibuat Graeber. Goons dipaparkan Graeber sebagai pekerjaan yang tidak mempunyai manfaat baik bagi khalayak, tetapi justru manipulatif. Salah satu contohnya adalah pekerjaan sebagai desainer grafis dari sebuah perusahaan iklan yang tiap harinya membuat semua produk-produk yang diiklankannya terlihat bermanfaat dan terlihat sangat dibutuhkan oleh khalayak. Di tengah pusaran konsumerisme, pekerjaan ini dianggap sebagai salah satu bullshit jobs. Pekerjaan yang menciptakan kebutuhan yang sebenarnya tidak ada.
Tipe selanjutnya adalah duct tapers. Tipe ini didefinisikan sebagai pekerjaan yang tercipta untuk menyelesaikan problem yang seharusnya diselesaikan oleh pihak lain.
Tak kalah mengada-ada dan yang sering kali tak kita sadari adalah tipe box tickers. Box tickers ini adalah tipe pekerjaan yang dibuat-buat sehingga sebuah organisasi seolah sedang melakukan sesuatu yang bermakna. Graeber mencontohkan tipe pekerjaan ini salah satunya adalah yang dikerjakan secara penuh waktu oleh para staf pembuat majalah perusahaan yang berisikan berita-berita teranyar perusahaan yang sebenarnya hanyalah berisikan narsisme pimpinan belaka.
Dan, yang terakhir adalah tipe taskmasters. Pekerjaan yang bertujuan untuk membuat sebuah perusahaan terlihat terkelola dengan baik; yaitu dengan memperbanyak staf-staf di level supervisor yang sebenarnya tidak melakukan pekerjaan apa pun selain menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaannya.
Fenomena munculnya bullshit jobs ini menurut Graber menjadi masalah sosial sebenarnya banyak disadari, tetapi lantas orang-orang juga tidak berbuat apa-apa. Mengapa demikian? Karena hal ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi yang ada, khususnya dalam buku ini negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Selain itu, kapitalisme pun memainkan perannya dalam kemunculan fenomena pekerjaan omong kosong ini.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/2″][vc_column_text]Terlepas dari tujuan Graeber menulis buku ini sebagai bentuk argumen terhadap kebebasan manusia, dalam skala kecilnya, buku ini cukup mampu menggerakkan hati pembaca untuk merefleksikan apa yang sedang mereka kerjakan, bagaimana kontribusi pekerjaan mereka terhadap dunia dan sesama. Coba tanyakan ke diri kalian masing-masing; Apakah apa yang kita kerjakan mempunyai makna atau omong kosong belaka? [Litbang Kompas/KIK][/vc_column_text][/vc_column][vc_column width=”1/2″][vc_message message_box_style=”outline” message_box_color=”grey” icon_fontawesome=”fa fa-book”]Bullshit Jobs: A Theory
Penulis : David Graeber
Penerbit : Simon Schuster
Tahun terbit : 2018[/vc_message][/vc_column][/vc_row]