“To travel is to feed the mind, humanise the soul, and rub off the rust of circumstance.” – Thomas Cook (1854)
Warna merah pada sebuah kalender selain pada hari Minggu seolah menyalakan sirine dalam kepala. Membangkitkan alarm pada jiwa petualang yang tengah “tertidur” pada hari-hari kerja. Warna merah menjadi pertanda, saatnya untuk kembali mengatur agenda dan beravontur menuju tempat-tempat baru.
Sejak pertengahan usia 20-an tahun, Mutiara (40) rutin mengagendakan jadwal bepergian. “Yang pasti, saya selalu membuat agenda birthday trip sebagai hadiah untuk diri sendiri. Ini di luar jadwal bepergian saya yang seringnya karena dorongan impulsif,” ujarnya. Ia menambahkan, adanya jadwal libur hari kejepit yang saat ini kerap dibagikan tepat menjelang akhir tahun amat membantu untuk segera mengunci tanggal.
Baginya, merayakan ulang tahun dengan berjalan ke suatu daerah baru menjadi hadiah terbaik. “Makna perjalanan buat saya dalam sekali, saya sendiri sulit menjabarkan dengan kata-kata,” ujarnya. Lebih kerap melakukan perjalanan solo, salah satu destinasi yang selalu berkesan baginya adalah saat mendatangi Timor Leste. “Saya pergi sendiri, tidak punya teman yang sudah pernah ke sana untuk bisa kasih referensi, jadi semuanya ya go with the flow aja. Dan, ternyata jadi salah satu perjalanan paling berkesan. Saya memang biasanya pergi sendiri atau berdua teman. Enggak pernah rame-rame,” ujarnya sambil tersenyum.
Melakukan perjalanan sejatinya adalah insting alami yang dimiliki setiap manusia, dengan berbagai tujuan. Seperti pendapat Guyer-Freuler E dalam bukunya Handbuch des Schweizerischen Volkwirtschaft (1939), kepariwisataan merupakan gejala zaman yang didasarkan kebutuhan pergantian suasana, kesadaran akan keindahan, kesenangan, dan kenikmatan alam semesta, serta bertambahnya pergaulan berbagai bangsa sebagai hasil perkembangan perniagaan.
Fenomena peradaban
Manusia prasejarah terus berpindah tempat sebagai cara untuk bertahan hidup. Pada era klasik, bangsa Mesir Kuno dan Yunani Kuno biasa bepergian untuk mencari hiburan, pengalaman, dan relaksasi. Pada masa Romawi Kuno (300 SM), infrastruktur bertambah dengan adanya jaringan jalan besar sepanjang 90 ribu kilometer dan 200 ribu kilometer jalan-jalan pedesaan yang lebih kecil. Hal ini kian menyuburkan tren perjalanan berlibur.
Pada abad pertama, orang-orang Roma dengan penghasilan baik kerap bepergian ke pantai-pantai di daerah selatan atau di sekitar Mesir dan Yunani untuk relaksasi. Mereka juga mengawali gagasan pertama tentang liburan musim panas. Pada abad ke-12, mulai muncul konsep bepergian berdasarkan keseragaman kelompok (misalnya kelompok pelajar, serdadu, peziarah, dan sebagainya). Perjalanan dengan tujuan studi juga meningkat.
Pada abad ke-16, tujuan orang melakukan perjalanan berwisata lebih beragam. Misalnya, untuk memperoleh pendidikan, menandai berakhirnya masa anak-anak, dan mendapatkan pengakuan sosial. Dan pada abad ke-19, perjalanan mulai bergerak ke arah yang lebih inklusif, menyebar ke segala strata masyarakat.
Dari Inggris
Abad ke-19 yang ditandai dengan lahirnya revolusi industri melahirkan fenomena baru di masyarakat. Kelas pekerja lahir dengan berbagai tantangannya. Waktu kerja yang lama, tetapi upah kecil. Salah satu cara untuk menghibur diri adalah membenamkan diri pada alkohol yang juga tengah menjadi tren.
Thomas Cook jengah dengan fenomena candu alkohol yang banyak menjangkiti kelas pekerja di Inggris ini. Masalah-masalah sosial pun timbul karena pengaruh alkohol. Ia kemudian berpikir cara mengalihkan orang dari alkohol. Pada suatu hari, Cook mendengar ada semacam seminar anti-alkohol akan diselenggarakan di Loughborough, sekitar 30 kilometer dari Leicester, tempatnya tinggal. Ia pun mengatur rencana.
Ia mengajak warga Leicester mendatangi pertemuan itu. Perjalanan menuju Loughborough diaturnya dengan cermat. Warga yang ikut cukup membayar satu shilling, sudah termasuk tiket pulang-pergi dengan kereta, hiburan band, teh, dan kudapan. Hasilnya, 500 orang mengikuti perjalanan ini.
Perjalanan ini dianggap sebagai gebrakan dalam dunia pariwisata. Inilah trip terorganisasi pertama di Inggris dan dunia, yang melibatkan peserta dalam jumlah besar. Perjalanan pada 1841 ini pun menjadi embrio munculnya biro perjalanan. Sejak gebrakan pertamanya itu, Cook mengatur perjalanan menuju negara-negara tetangga seperti Paris, Swiss, Italia, Mesir, hingga Amerika Serikat. Akhirnya pada 1865, Cook mendirikan biro perjalanan dan namanya didapuk sebagai bapak pariwisata modern.
Ia membuka peluang bagi kelompok masyarakat baru untuk bisa mencicipi perjalanan bersenang-senang. Cook membuat perjalanan bagi kelompok pekerja dan kelas menengah ke bawah untuk berkesempatan mengeksplorasi dunia, yang sebelumnya hanya bisa diketahui dari buku bacaan. Pada 1872, Cook berkolaborasi dengan anaknya sehingga biro perjalanannya berubah nama menjadi Thomas Cook & Son yang kini masih eksis dalam berbagai bentuk, meski bukan lagi berupa bisnis keluarga.
Kiprahnya menjadi titik awal hadirnya industri pariwisata yang kini kita kenal. Ia diakui telah membuka pintu bagi jutaan manusia mengeksplorasi wilayah dunia lain. Gara-gara Thomas Cook, Mutiara, Anda, dia, mereka, dan lebih dari 1 juta manusia di dunia saat ini melakukan perjalanan berwisata ke seluruh penjuru dunia. [ADT]
Foto dokumen Shutterstock.com
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Januari 2018