[su_audio url=”http://advisual.kompas.id/nusantara-bertutur/audio/kembul-bujana.mp3″]
Sabtu pagi, puluhan warga sudah berdatangan ke rumah Nenek Harti yang terletak di Sleman, Yogyakarta. Para warga itu datang masing-masing membawa bakul. Nimas yang sedang berlibur di rumah Nenek Harti merasa heran.
“Kenapa banyak warga pada berkumpul di sini, Nek?” tanya Nimas pada Neneknya.
“Mereka ingin bekerja bakti, Nimas. Ibu-ibu akan memasak bersama. Sementara bapak-bapak akan memasang tenda,” jelas Nenek Harti.
“Mau ada pesta ya, Nek?”
“Bukan pesta, tapi syukuran, karena panen padi warga melimpah. Kita akan mengadakan acara Kembul Bujana.”
“Acara apa itu, Nek?” Nimas penasaran.
“Kembul Bujana merupakan salah satu tradisi Jawa dari nenek moyang yaitu menyantap makanan secara bersama-sama, yang dimaknai sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.”
“Wah asyik ada acara makan-makan,” pekik Nimas gembira.
“Kembul Bujana bukan sekedar makan-makan, tapi ungkapan syukur pada Tuhan. Nanti para warga duduk lesehan menikmati hidangan sebagai simbol bahwa setiap manusia memiliki kedudukan sama dihadapan Tuhan. Begitu pula hidangannya, masing-masing memiliki makna filosofis. Nilai-nilai sosial tradisi ini, yaitu memperat rasa persaudaraan, gotong-royong untuk menyiapkan segala kebutuhan acara, serta memberi sedekah makanan bagi warga sekitar kurang mampu,” jelas Nenek.
Nenek lalu mengajak Nimas ke dapur. Di sana terlihat ibu-ibu berbagi tugas. Ada yang menanak nasi, menggoreng lauk, memasak sayur, dan menyiapkan buah-buahan.
Menjelang pukul 12.00 siang, persiapan sudah selesai. Semua makanan yang telah dimasak pun ditata rapi.
“Hai, Nimas,” suara Togar memanggil dengan logat Bataknya mengejutkan Nimas. Saat membalas panggilan Togar, Nimas makin terkejut karena kedua sahabatnya, Ling-ling dan Ujang tampak berjalan di belakang Togar.
“Kok mereka ada di sini, Nek?” tanya Nimas ke neneknya.
“Memangnya kenapa, Nimas? Upacara ini boleh dihadiri siapapun.”
“Bukannya acara Kembul Bujana itu tradisi adat Jawa, Nek?”
“Kamu benar, tapi bukan berarti hanya boleh dihadiri suku Jawa saja. Justru dengan hadirnya warga dari suku lain, mereka bisa belajar tentang tradisi kita. Begitu juga sebaliknya. Karena kita sebagai warga satu Bangsa, harus menghargai satu sama lain. Inilah yang dinamakan keberagaman Indonesia.”
Nimas mengangguk mengerti. Saat acara penutupan Kembul Bujana, Nimas, Togar, Ujang dan Ling-Ling duduk lesehan bersama dan menyantap hidangan yang disajikan dalam pincuk daun pisang. Ibarat pepatah, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Tidak membeda-bedakan antara suku Jawa, Batak, Sunda ataupun Tionghoa, karena semuanya adalah warga negara Indonesia. Indahnya keberagaman, jika kita bisa menghargai satu sama lain. *
[su_note note_color=”#FF9″]
Penulis: Yeni Endah
Pendongeng: Kang Acep
Ilustrasi: Regina Primalita
[/su_note]