Mendengar nama TB Simatupang, warga Jakarta mungkin langsung teringat pada salah satu ruas jalan protokol di Ibu Kota. Ya, nama jalan itu disematkan sebagai penghargaan atas jasa pahlawan nasional yang bernama lengkap Tahi Bonar Simatupang ini.
TB Simatupang atau lebih akrab dipanggil Sim, sebenarnya bercita-cita menjadi dokter. Dia yang taat agama ini ingin menjadi tenaga medis di rumah sakit gereja. Namun, alih-alih menjadi dokter, Sim malah masuk ke Koninklijk Militaire Academie (KMA), akademi militer Kerajaan Belanda di Bandung. Lulusan KMA akan menjadi perwira di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).
Sim seangkatan dengan Abdul Haris Nasution dan Alex Kawilarang. Namun, berbeda dengan mereka yang masuk ke divisi infanteri, Sim malah memilih divisi zeni. Alasannya, nilai pelajaran eksakta Sim cukup tinggi. Lagi pula, Sim ternyata sudah memikirkan masa depan. Pada masa damai, perwira zeni bisa bekerja di bidang teknik sipil.
Keinginan Sim bergabung di militer sebenarnya karena ingin membuktikan kepada gurunya di SMA dulu yang kerap merendahkan kemampuan kaum pribumi. Dalam perjalanannya sebagai militer, Sim terlibat dalam pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Walaupun demikian, Sim tidak dikenal sebagai panglima atau komandan pasukan, berbeda dengan dua rekannya, Nasution dan Kawilarang. Namun, pada 1948, Sim diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Umum Angkatan Perang.
Kegemarannya membaca membuat Sim memiliki keunggulan pada teori-teori. Tak heran, Sim kerap memberikan masukan di bidang militer dalam perundingan-perundingan. Dia pun sempat membantu Johannes Leimena dengan jabatan wakil ketua komisi sebagai ahli militer.
Saat terjadi agresi militer Belanda pada 1949, Sim ditunjuk sebagai pelaksana tugas Kepala Staf Angkatan Perang. Hal ini karena kondisi kesehatan Panglima Besar Soedirman memburuk. Oleh karena itu, setelah Soedirman wafat, Sim diangkat menggantikan posisinya. Sementara itu, Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Ketika menjadi KSAP, Sim menjadi ketua gabungan kepala-kepala staf (GKS). Jabatannya pun naik, dari kolonel menjadi Mayor Jenderal. Selama menjabat KSAP, Sim menemui banyak masalah di TNI. Mulai dari peleburan KNIL ke TNI hingga penolakan perwira TNI dari non-KNIL untuk diberikan ilmu dari instruktur Belanda.
Jabatan KSAP disandangnya hingga 1954. Sim sudah menjabat KSAP sejak usianya menginjak 29 tahun. Jabatan KSAP ini dilepas karena TB Simatupang berselisih pendapat dengan Presiden Soekarno kala itu. Dia tidak bisa menerima pencopotan AH Nasution sebagai KSAD. Nasution sendiri dicopot karena salah satu yang menolak pelatihan dari perwira Belanda.
Belakangan, Nasution dipulihkan kedudukannya pada 1955, tetapi Sim tidak. Sim sempat ditawarkan dua kali menjadi duta besar, tetapi menolak. Menurut Sim, tawaran itu merupakan pengasingan untuk dirinya.
Selepas KSAP, Sim menjadi penasihat militer di Departemen Pertahanan RI dan dipensiunkan pada 1959 dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Selepas dari militer, Sim lebih aktif di gereja dan menjadi penginjil. Selain itu, dia juga suka sekali menulis. Ada beberapa karya buku yang ditulis oleh TB Simatupang. Dia wafat pada tahun baru 1990.
Nama Sim tidak hanya diabadikan sebagai nama jalan, tetapi juga dipakai di uang logam pecahan Rp 500 keluaran 2016. TB Simatupang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.