Waktu itu akhir abad ke-19. Di tanah Minahasa, Sulawesi Utara, seorang gadis kecil memandang dengan takjub perahu-perahu layar kecil yang merapat, dinakhodai orang Bugis dari selatan. Cerita dari seorang pembuat kopra yang mengatakan bahwa orang-orang Bugis itu bersaudara dan sebangsa dengan mereka menggelorakan semangat si gadis kecil.
Gadis itu bernama Maria Josephine Catherina Maramis, yang kini lebih dikenal dengan Maria Walanda Maramis. Kebanggaannya ketika mengetahui bahwa ia memiliki saudara sebangsa di tempat lain yang jauh barangkali menjadi awal terbentuknya semangat nasionalisme dalam dirinya. Kelak, ia akan keras menyuarakan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan bangsanya dalam bidang kerumahtanggaan, akademik, sekaligus politik.
Masa kecil
Maria menikmati masa kecil di desanya, Kema. Namun, suatu hari wabah kolera menyerang desa tersebut. Banyak penduduk yang meninggal, termasuk ayah dan ibu Maria. Maria yang ketika itu berusia enam tahun beserta dua saudara kandungnya menjadi yatim piatu.
Selepas kepergian orangtuanya, Maria dan saudara-saudaranya diasuh oleh pamannya Ezau yang merupakan seorang mayor dan bibinya Johana. Di rumah paman dan bibinya yang penuh kasih sayang inilah mata Maria terbuka akan kesenjangan yang tercipta karena perbedaan status sosial sekaligus gender. Setelah lulus dari Sekolah Desa, Maria tidak diberi kesempatan meneruskan sekolah karena ia adalah seorang perempuan dan tidak berasal dari keluarga yang punya posisi penting di pemerintahan. Ia menentang, tetapi itu sia-sia belaka.
Bergerak untuk perubahan
Pada usianya yang ke-18, Maria dilamar Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru yang menempuh pendidikan di Ambon. Jozef merupakan suami yang suportif dan mendorong kemauan Maria untuk belajar. Sejak menikah dengan Jozef, nama Maria menjadi Maria Walanda Maramis.
Jozef mengajari Maria bahasa Belanda dan membelikan buku-buku yang penting. Maria mulai berpikir untuk membebaskan kaum perempuan dari cengkeraman adat yang tidak menguntungkan dan dari pola pendidikan Belanda. Pada 8 Juli 1917, Maria berhasil mendirikan perkumpulan perempuan yang diberi nama Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya, disingkat PIKAT.
Sekolah ini memberi pendidikan mengenai kerumahtanggaan, pertolongan pertama pada kecelakaan, dan bahasa Belanda. Cabang-cabang PIKAT lantas didirikan di luar daerah Minahasa, di Gorontalo, Poso, Donggala, Makassar, bahkan di Pulau Jawa dan Kalimantan. Ia ingin proses kemajuan perempuan berlangsung di mana-mana.
Di luar gemerlap kehidupan kaum kolonial, rasa nasionalisme Maria tumbuh. Teman-temannya dianjurkan untuk sebisa mungkin menggunakan bahasa Melayu ketika berpidato atau bercakap-cakap dengan orang asing. Maria juga selalu memakai pakaian daerah, kain, dan kebaya putih. Kepada banyak orang, berkali-kali ia mengatakan, “Pertahankan bangsamu.”
Dewan kota
Maria juga memperjuangkan agar perempuan diberi suara dalam urusan kenegaraan serta diberi tempat di Dewan Kota. Kiprahnya menyangkut vrouwenkiesrecht, hak pilih dan dipilih bagi perempuan. Ia menulis banyak artikel tentang ini yang dimuat di koran setempat.
Usahanya berhasil, pada 1921 datang keputusan dari Batavia yang memperbolehkan perempuan memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad. Setelah itu, kondisi fisik Maria menurun. Ia meninggal karena sakit pada 22 April 1924 dalam usia 52 tahun.
Setelah Maria berpulang, banyak kemajuan yang dicapai bangsa kita, khususnya yang menyangkut perwujudan cita-citanya. PIKAT maju pesat. Pada 1930-an, perempuan diberi kesempatan untuk duduk dalam Locale Raden atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Maria diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 20 Mei 1969. [*/NOV]
[su_divider top=”no” style=”dashed” size=”1″]
Quote
[su_heading size=”18″ align=”left” margin=”30″]”Alangkah pahitnya bila kita hanya menyerah pada kelemahan atau kekurangan perhatian orang lain terhadap hati nurani serta seluruh rencana dan gagasan kita.”[/su_heading]
(Maria Walanda Maramis, dalam suratnya kepada Ketua PIKAT Ny Liong, setelah Maria berpulang)
Biodata
Nama : Maria Walanda Maramis
Tempat lahir : Kema, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara
Tanggal lahir : 1 Desember 1872
Wafat : 22 April 1924
SK Presiden : Keppres Nomor 012/K/1969, 20 Mei 1969
Opini
[su_row][su_column size=”1/4″ center=”no” class=””][/su_column] [su_column size=”3/4″ center=”no” class=””]
Ricky Henry Rawung (Dosen)
Sejak kecil, saya yang berasal dari Tomohon sudah tahu bahwa beliau adalah pahlawan perempuan dari Sulawesi Utara. Beliau memiliki misi memajukan peradaban dan mewujudkan kesetaraan gender di dunia politik. Saya juga sangat setuju dengan gagasan beliau yang mengatakan pendidikan dimulai dari dalam keluarga. Di masa hidupnya, Walanda Maramis mengajak kaum perempuan untuk sekolah sehingga mereka dapat mendidik anak dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang hebat bagi bangsa indonesia.
[/su_column][/su_row]
[su_row][su_column size=”1/4″ center=”no” class=””][/su_column] [su_column size=”3/4″ center=”no” class=””]
Oktiva Rossari (PNS)
Maria Walanda Maramis adalah sebentuk cahaya dari timur yang menyediakan jalan bagi kemajuan dan emansipasi perempuan. Ia merupakan pejuang yang bergerak dengan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak adat.
[/su_column][/su_row]
[su_row][su_column size=”1/4″ center=”no” class=””][/su_column] [su_column size=”3/4″ center=”no” class=””]Ade Ivan (Manajer Artis)
Lupakan sejenak RA Kartini! Indonesia masih memiliki putri bangsa yang mengabdi bagi Ibu Pertiwi. Kenali, hargai, dan kenang mereka. Jangan sampai Maria Walanda hanya berhenti sebatas nama tanpa makna. Masih banyak Maria-Maria lain yang sepenuh hati berkiprah bagi Ibu Pertiwi.[/su_column][/su_row]
Berapa banyak Anda kenal dengan pahlawan nasional kita? Yuk kenali tokoh-tokoh pahlawan berikut ini