Daan Mogot mungkin lebih populer dikenal sebagai nama jalan ketimbang pahlawan. Namun, seperti banyak nama jalan yang lain, itu diabadikan dari nama pahlawan nasional. Ialah Elias Daniel Mogot, seorang pejuang asal Manado yang mati muda di Lengkong.
Elias Daniel Mogot atau Daan Mogot berasal dari Manado. Ia lahir di kota ini pada 28 Desember 1928. Ia hidup dalam keluarga yang cukup terpandang, berorangtuakan Nico Mogot dan Emilia Inkirawang. Ayahnya sempat menjabat sebagai Hukum Besar. Suatu kali, ketika usia Daan hampir 11 tahun, ayahnya terpilih menjadi anggota Volksraad atau dewan rakyat menggantikan Sam Ratulangi. Keluarga ini pun pindah ke Jakarta dan bermukim di sini.
Dibandingkan dengan teman-teman sebayanya waktu itu, pendidikan formal Daan cukup baik. Ia menempuh sekolah dasar di sekolah elite Europeesche Lagere School (ELS). Ia lulus SD pada usia 14 tahun, ketika Hindia Belanda menyerah dan masa pendudukan Jepang dimulai. Daan lantas mengikuti pelatihan pemuda Seinen Dojo di Tangerang. Dari sini jugalah jiwa patriotiknya tertempa.
Dalam masanya menempuh pendidikan Seinen Dojo, Daan berteman dengan orang-orang yang kini kita kenal sebagai sosok yang juga kondang, misalnya Kemal Idris, Umar Wirahadikusumah, dan Zulkifli Lubis. Mereka kerap menghabiskan waktu untuk berbincang soal nasib bangsa. Keinginan Daan untuk menyumbangkan sesuatu bagi bangsa pun kian besar.
Lulusan Seinen Dojo lantas bergabung dengan tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Usia Daan waktu itu baru 15 tahun ketika menjadi perwira Peta. Pangkatnya saat itu adalah Shodanco, atau setara letnan. Selama pelatihan militer di Seinen Dojo, Daan menjadi pemuda dengan beragam prestasi. Hal ini jugalah yang sempat mengantarnya menjadi instruktur Peta di Tabanan, Bali.
Kesepakatan yang berakhir ricuh
Pada 1945, ayah Daan meninggal, diduga akibat dibunuh. Saat itu, Daan semakin merasa ada begitu banyak hal tentang Indonesia yang perlu dibereskan. Ia pun ingin melatih calon perwira untuk Republik. Daan lantas mendirikan Akademi Militer darurat yang diberi nama Militaire Academie Tangerang. Akademi ini berdiri pada 18 November 1945.
Setelah kemerdekaan hingga awal 1946, ada masalah di Resimen Tangerang terkait serdadu Jepang yang tidak mau menyerahkan senjata mereka kepada pihak RI. Padahal, saat itu Jepang sudah kalah. Mereka hanya mau menyerah atau berkompromi dengan militer Inggris.
Daan Mogot sendiri bertugas untuk melucuti senjata Jepang lewat pendekatan kepada Kapten Abe, yang memimpin pasukan Jepang yang bertahan di Lengkong. Setelah sejumlah upaya damai gagal, Daan mencari akal untuk mau membuat pasukan Jepang itu menyerah. Apalagi, ada desas-desus tentara Belanda akan menyerang Tangerang dan markas serdadu Jepang akan direbut. Semakin gawatlah kalau ini terjadi. Pasukan RI membutuhkan senjata-senjata dari tentara Jepang tersebut.
Daan pun mencari akal. Ia berencana menipu orang-orang Jepang itu dengan membawa serta serdadu militer Inggris asal India yang sudah memihak tentara Republik. Rencana itu pun dijalankan di markas tentara Jepang di Lengkong pada 26 Januari 1946. Pada mulanya, pertemuan berlangsung cukup kondusif yang lancar. Namun, ketika tentara Jepang hampir menyerahkan senjatanya, terdengar letusan senjata api. Suasana pun ricuh dan pertempuran tak terhindarkan.
Pasukan Indonesia ditembaki tentara Jepang. Daan berupaya melindungi pasukannya, tetapi peluru menghunjam dada dan pahanya. Sebanyak 34 taruna dan 3 perwira gugur dalam pertempuran tersebut, termasuk Daan Mogot. Pada 1993, untuk mengenang peristiwa ini, di lokasi tersebut didirikan Monumen Lengkong.