Menikmati Kehangatan Teh Indonesia di House of Tea

by bkrismawan

Petang belum begitu matang tatkala kami meluncur ke bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Di antara padatnya bangunan dan jalanan Ibu Kota, sebuah kedai teh terselip dengan “nyaman”.

Panas matahari yang masih terasa menyengat hari itu kian terasa ringan saat kami memasuki sebuah gang kecil—kira-kira hanya muat satu mobil—yang kemudian bersua dengan halaman hijau yang cukup luas. Sebelum memasuki halaman ini, terdapat plang nama sederhana di ujung jalan, bertuliskan “House of Tea”.

Ketika masuk ke kedai ini kesejukan lebih terasa. Kesederhanaan pun kembali menyembul dari mebel-mebel tua yang digunakan untuk tempat duduk dan meja para tamu. Namun, apa yang disajikan kedai teh ini tak sesederhana anggapan kebanyakan orang tentang teh. Dimiliki oleh seorang pensiunan petani teh Purwakarta, House of Tea menyajikan keistimewaan teh Indonesia.

House of Tea telah berdiri sejak tiga tahun lalu, tepatnya 2015. Satria Gunawan, sang pemilik, bukan sekadar penikmat teh, tetapi sekaligus petani teh yang melanjutkan usaha keluarga untuk memajukan agribisnis Camelia sinensis ini. Sebagai praktisi di agribisnis ini, Gunawan menyadari betul kualitas unggul yang dimiliki teh Indonesia sehingga amat pantas untuk diekspor ke berbagai negara.

Foto-foto : Iklan Kompas/Iwan Andryanto.

“Kualitas teh Indonesia tak kalah bersaing dengan teh dari negara lain, yaitu China dan India. Kontur alam Indonesia bagus dan cocok untuk membudidayakan tanaman teh. Seperti kopi, karakter teh itu juga unik sesuai dengan di daerah mana teh itu ditanam. Contohnya, teh yang tumbuh di Pulau Sumatera, biasanya memiliki karakter rasa kebuah-buahan (fruity). Sementara itu, di Pulau Jawa, teh memilik karakter rasa kebunga-bungaan,” terang Gunawan.

Mengutip data Statistik Teh Indonesia pada 2016 dari Badan Pusat Statistik, ekspor teh Indonesia menjangkau lima benua, yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa. Lima besar negara tujuan ekspor teh Indonesia adalah Rusia (18,98 persen), Malaysia (16,19 persen), Jerman (8 persen), Amerika Serikat (7,78 persen), dan Pakistan (7,41 persen).

[su_youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=21FpXZStEtk” width=”640″ height=”420″ autoplay=”yes”][su_youtube url=”https://www.youtube.com/watch?t=17&v=fW-GgbZjC68″ width=”620″ autoplay=”yes”][/su_youtube]

Sayangnya, teh Indonesia yang berkualitas premium atau grade 1 lebih sering diekspor. Sementara itu, yang ada di pasaran dalam negeri adalah teh ber-grade 2 atau 3. Melihat kenyataan itu, Gunawan ingin mendekatkan teh premium Indonesia kepada masyarakat dalam negeri. Oleh karena itu, melalui kedai ini, Gunawan ingin agar teh premium Indonesia dapat dinikmati oleh orang Indonesia sendiri. Selain itu, Gunawan juga ingin mengedukasi para peminum teh tentang bagaimana menikmati teh dengan baik.

“Teh yang disajikan di tempat kami ada kurang lebih 10 macam. White tea, oolong tea organic, green tea organic, black organic, green special, black special, green tea, black, telang, dan teh serai,” papar Gunawan.

Proses alami

White tea menjadi jenis teh yang mungkin jarang dijumpai di tempat lain. Salah satu faktornya, karena kelangkaan dan harganya yang mahal. Sayang untuk dikonsumsi untuk sehari-hari, begitu perkataan dari beberapa teman yang memang tahu jenis teh ini. Namun, House of Tea selalu optimistis menyajikan white tea Indonesia. Pembelinya pun ternyata tak sedikit, baik yang meminumnya langsung di kedai maupun yang membeli dalam rupa teh kering.

“White tea berasal dari daun teh termuda yang masih menggulung di bagian pucuk pohon teh. Daun teh muda ini biasanya diselimuti oleh bulu-bulu halus yang akan berubah warna menjadi putih keperakan setelah daun dikeringkan. Warna putih inilah yang menjadi asal nama white tea. Karena bentuknya yang lurus dan tajam setelah melalui proses pengeringan, white tea sering kali juga disebut dengan istilah silver needle,” terang Gunawan.

Harga white tea seberat 50 gram bisa dijual seharga Rp 150.000. Gunawan pun menjelaskan alasan harga white tea yang tergolong mahal ini karena pengolahannya yang cukup rumit. Bagian teh yang diambil untuk membuat white tea hanya bagian pucuknya yang belum mekar.

Sejumlah sumber menyebutkan, waktu yang ideal untuk memetik white tea kira-kira pukul 05.30 sampai 09.00. Karena kalau sudah lama terpapar sinar matahari, pucuknya pasti telah mekar. Setelah dipetik, white tea diolah dengan cara alami. Proses pengeringannya pun hanya boleh dari panas matahari.

Oleh karena itu, white tea memiliki kadar antioksidan 11,1–25,6 persen lebih tinggi dibandingkan jenis teh lainnya. Dan, bayangkan, dalam panen satu hektar kebun teh, biasanya hanya bisa menghasilkan sekitar satu kilogram white tea.

Terbuka dan hangat

Bukan hanya menyajikan beragam pilihan teh premium Indonesia, saat berkunjung ke kedai ini, tamu bisa sharing dan mendapat banyak informasi menarik seputar teh, khususnya teh Indonesia. Gunawan memang tak sungkan untuk menyapa tamu yang datang dan kemudian berbincang dengan mereka.

Keramahan menjadi kunci Gunawan dalam menyajikan teh di kedainya. Dengan ini, tak sedikit tamu yang betah nongkrong di kedai itu dan kembali datang lain hari. Bahkan hubungan antara Gunawan dengan pelanggan tehnya bisa menjadi seperti saudara. Contohnya, ada momen kala tiga orang anak muda yang biasa ngeteh di sana, datang sambil membawa buah tangan untuk Gunawan dan istrinya.

 

“Ini om, tante, sekadar oleh-oleh dari kampung. Kita, kan, belum berjumpa lagi kemarin setelah Lebaran,” sapa pemuda itu.

Tak berapa lama, ketiga pemuda itu diajak bergabung bersama kami ketika Gunawan menyeduh sendiri dan menyajikan langsung tiga jenis teh, yaitu white tea, black special, dan oolong tea. Sembari Gunawan bercerita tentang ketiga jenis teh itu, kehangatan pun terasa mengepul dari setiap cangkir teh yang membuat suasana kian akrab. [ACHDIYATI SUMI]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Juli 2018.

Share to

Artikel Menarik Lainnya