Saat membeli rumah dengan cara KPR, Anda harus mengetahui tentang bunga floating KPR. Anda harus mengetahui perhitungan bunga ini agar tidak terjadi kredit macet pada kemudian hari.
Nita (32) harus merelakan rumahnya disita oleh pihak bank karena tidak mampu membayar cicilannya pada tahun ketiga. Awalnya, Nita merasa yakin karena pembayaran cicilan KPR lancar.
Menginjak tahun ketiga, Nita tetap tidak mengendurkan gaya hidupnya. Dia tetap pergi ke kafe untuk minum kopi secara rutin, hangout setiap akhir pekan, dan shopping tanpa henti. Namun, dirinya merasa kaget karena cicilannya tiba-tiba membesar.
Pada dua tahun awal, Nita dikenakan bunga fix sebesar 10 persen. Namun, pada tahun ketiga, bunga KPR berubah menjadi 12 persen.
Nita kemudian kelimpungan untuk membayar KPR. Dia pun tidak segera adaptif dengan hal ini. Nita cenderung susah menyesuaikan gaya hidup dengan pengeluarannya. Akhirnya, surat putusan bank pun datang setelah beberapa kali Nita tidak mampu membayarnya. Rumah pun disita pada tahun ke-4 setelah berbagai usaha dilakukan.
Kasus seperti Nita ini banyak juga dialami orang banyak. Bunga floating kerap disangka menjebak, padahal bank sudah mencantumkan dalam surat yang ditandatangani oleh pembeli.
Apa itu bunga “floating”?
Bunga floating disebut juga bunga mengambang atau bunga berjalan. Bunga floating sendiri merupakan perhitungan bunga yang biasa digunakan bank untuk pinjaman kredit, terutama kredit pemilikan rumah (KPR).
Besar bunga floating ini akan terus berubah, tidak statis, selama periode kredit. Perubahan besaran bunga floating ini terjadi sesuai dengan acuan suku bunga Bank Indonesia, suku bunga pasar, atau kebijakan bank itu sendiri.
Jadi, misalnya, suku bunga dua tahun awal sebesar 10 persen adalah Rp 1 juta. Namun, karena ada perubahan suku bunga Bank Indonesia, bunga KPR menjadi 13 persen. Berarti cicilan rumah Anda akan naik menjadi Rp 1,3 juta pada tahun ketiga.
Jadi, jangan kaget kalau tiba-tiba cicilan Anda menjadi naik. Anda hanya harus membaca dengan lebih saksama. Sebenarnya, tiap bank mencantumkan suku bunga floating mereka di situs webnya sebab peraturan BI mewajibkan menampilkan suku bunga acuan kreditnya. Namun, kerap kali, pembeli abai terhadap hal tersebut.
Tiap bank memiliki kebijakan bunga floating sendiri. Periode perubahannya pun berbeda-beda. Ada bank yang meninjau bunganya per 3 bulan, per 6 bulan, atau per 1 tahun.
Baca juga : Karyawan Kontrak pun Bisa Punya Rumah
Kelebihan bunga “floating” KPR
Kelebihan sistem bunga floating KPR adalah adanya kemungkinan penurunan cicilan. Misalnya, pada tahun ketiga, bunga floating Anda sebesar 12 persen dengan nilai Rp 1,2 juta, bisa saja pada tahun keempat, bunga berubah menjadi 11 persen. Cicilan Anda pun bisa turun menjadi Rp 1,1 juta.
Kekurangan bunga “floating” KPR
Namun, sistem ini memiliki kekurangan, yaitu bunga floating KPR lebih sering naik daripada turun. Jadi, bisa dikatakan kemungkinan turun sangatlah kecil. Oleh karena itu, Anda disarankan untuk selalu mengecek besarnya suku bunga floating di situs web masing-masing bank.
Skema perhitungan
Bunga floating KPR bisa dihitung dengan dua skema, yaitu skema efektif dan skema anuitas. Skema efektif adalah skema yang menerapkan perhitungan bunga berdasarkan saldo pinjaman dan suku bunga KPR. Sedangkan skema anuitas merupakan skema perhitungan bunga floating KPR yang sering digunakan oleh bank di Indonesia.
Perbedaan skema anuitas dengan skema efektif ada pada tidak berubahnya total angsuran setiap bulannya. Namun, tidak sama dengan skema flat yang lebih berpatokan pada angsuran bunga. Bisa dikatakan, skema anuitas merupakan kombinasi dari skema flat dan skema efektif.
Foto: Shutterstock.com