Makassar berbenah. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Makassar menghadapi permasalahan yang sama dengan kota besar lainnya: jumlah kecelakaan lalu lintas yang cukup tinggi dan tentu saja kemacetan lalu lintas. Maka sejak lima tahun yang lalu, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar untuk dapat menanggulangi permasalahan ini.
Suatu penelitian di Makassar pernah dilakukan oleh Pemdanya dengan bantuan salah satu lembaga PBB, UNDP. Data menunjukkan bahwa 70 persen dari jumlah kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan sepeda motor. Jalan yang dirasa paling efektif untuk menurunkan angka kecelakaan ini adalah dengan mengurangi penggunaan sepeda motor dan meningkatkan penggunaan transportasi publik.
Masalah lain adalah kemacetan lalu lintas. Setelah diadakan lokakarya dengan mendengarkan pendapat pengguna kendaraan umum, ditemukan fakta bahwa minivan yang biasa disebut penduduk Makassar sebagai pete-pete tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk mendapatkan keterangan yang lebih detil, panitia lantas turun ke jalan dan mendalami perilaku bertransportasi masyarakat Makassar.
Sebagai hasil dari studi ini, beberapa perubahan dilakukan. Fungsi pete-pete dioptimalkan terutama untuk kepentingan transportasi pelajar. Rute trayek juga diubah. Selain melayani rute-rute di dalam daerah pemukiman atau kompleks perumahan ke sekolah, pete-pete juga menjadi kendaraan sambungan bus-bus antar kota, dan pengumpan penumpang yang berada di pusat perbelanjaan modern dan tradisional. Dari segi interior pun pete-pete dibenahi. Smart Pete-pete–demikian disebut– kini dilengkapi fasilitas AC, wi-fi, dan sensor GPS untuk memudahkan masyarakat memantau kedatangan kendaraannya.
Tidak hanya dari kacamata penumpang, dari studi ini pun Pemda kemudian dapat lebih memahami masalah para pengemudi. Sistem smart pete-pete yang diluncurkan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para pengemudi karena yang dihitung adalah jarak tempuh per kilometer alih-alih jumlah penumpang. Dengan ini, pengemudi pete-pete tidak perlu menunggu mobilnya penuh dan jadwal keberangkatan dapat dipatuhi. Panitia kemudian mensosialisasikan jadwal kendaraan transportasi umum dengan menjamin kepatuhan pengemudi transportasi umum tersebut terhadap jadwal dan menjaga agar aturan lalu lintas yang baru dipatuhi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan transportasi publik, ketimbang sepeda motor.
Penduduk dan pengamat Makassar menyaksikan perubahan signifikan yang terjadi. Banyak orang mengagumi langkah yang diambil Pemda dan mengacungkan jempol untuk kreativitas solusinya. Namun, tidak banyak yang bisa membayangkan bagaimana Pemda bisa sampai pada tindakan-tindakan perbaikan tersebut. Dari mana solusi-solusi ini muncul. Sederhananya, inilah yang dinamakan thinking out of the box. Solusi atau jalan keluar yang diambil terlihat cemerlang, tidak konvensional namun tepat sasaran. Sulitkah untuk dapat berpikir out of the box?
Kuncinya sebenarnya terletak di pendekatan pencarian solusinya. Kita mempunyai kecenderungan untuk berpikir secara konvensional. Belajar dari pengalaman dan pengamatan. Tidak salah, namun cara ini seringkali menyebabkan kita untuk kembali pada solusi-solusi yang sudah pernah diambil ketika menghadapi masalah tertentu. Ketika pilihan solusi yang diambil ternyata tidak menyelesaikan masalah, kita lantas merasa buntu dan tidak mempunyai jalan keluar. Banyak saran untuk mencari solusi lain di luar kebiasaan, tetapi tetap kita tidak mampu, atau lebih sering tidak berani melakukannya.
Optimalkan empati
Pada tahun 1990, salah satu produk perusahaan FMCG besar –Procter & Gamble (P&G)– Oil of Olay mengalami kemerosotan penjualan. Perusahaan menyadari bahwa mereka harus cepat mengambil jalan keluar. Ada 3 pilihan yang bisa diambil. Pertama, membuat brand baru. Kedua, membeli brand yang sedang laku. Ketiga, melakukan rebranding produk Oil of Olay.
Tidak ingin gegabah mengambil keputusan, P&G lantas melakukan riset. Ternyata diketahui bahwa pemakai produk ini adalah wanita berusia 50 tahun ke atas. Konsumen dengan rentang usia 30-40 tahun, belum terlalu khawatir akan keriput di wajahnya sehingga tidak melakukan pembelian. Menyadari hal ini P&G lantas mengubah strateginya dan melakukan sosialisasi kepada konsumen dengan rentang usia 30-40 tadi mengenai konsep kecantikan dan pentingnya melakukan perawatan wajah serta pencegahan keriput sejak dini. Akhirnya pada tahun 1999, Olay melakukan relaunch secara besar-besaran dan sukses hingga kini. Hal ini menunjukkan, bahwa dengan mempelajari konsumen secara teliti P&G mampu memenangkan tidak hanya keuntungan namun juga loyalitas pelanggannya.
Hampir semua penurunan bisnis disebabkan oleh berkurangnya penjualan. Produk menjadi tidak laku seperti biasanya, menunjukkan minat pelanggan yang menurun. Artinya, produknya tidak dibeli karena tidak memenuhi kebutuhan pelanggannya. Ini dimengerti oleh semua orang. Herannya, masih banyak produsen yang lantas hanya memodifikasi produknya atau layanannya, tanpa mempelajari apa sebenarnya kebutuhan pelanggannya. Strategi perusahaannya tidak user driven melainkan tetap product driven. Padahal jika kita hanya terus berorientasi ke dalam, kita akan kesulitan untuk memperoleh ide-ide baru. Masukan yang kita dapat hanya akan berputar di situ-situ saja. Namun jika kita keluar dan bertanya, mengamati dan merasakan sendiri user experience dari produk atau layanan kita, kita akan terkejut-kejut mengetahui adanya perubahan kebutuhan ataupun keinginan pelanggan. Inilah yang disebut empati terhadap konsumen.
Tim Brown –CEO dan presiden IDEO– mengatakan bahwa agar suatu bisnis dapat mencapai kesuksesan, maka fokus pemikiran kita perlu digeser ke arah kebutuhan konsumen, penggunaan teknologi, dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen tersebut. Selanjutnya, kita perlu membiasakan diri untuk selalu mempertanyakan “why” pada setiap tingkat pengembangan produk, melalui wawancara dan brainstorming. Ini adalah kegiatan dan kekuatan manusia yang tidak mungkin dilakukan komputer ataupun artificial intelligence. “What, How and Why” selalu bersifat dinamis dan berubah seiring perkembangan zaman.
Di sini kita juga memerlukan kekuatan dan keberanian untuk meneruskan buah-buah pikiran baru kita, yang mungkin terlalu mengejutkan, dan tidak disangka-sangka. Kita perlu mengembangkan integrative thinking agar dapat menyatukan apa yang sudah pernah kita ketahui, dengan hal hal baru tersebut. Kita perlu optimistis untuk dapat melampaui kebingungan ini. Mindset kita perlu dibentuk untuk menjadi seseorang yang tidak pernah berhenti bereksperimen. Dan jangan lupa, kita tidak bisa lagi hanya berpikir mandiri dan internal. Kita harus berkolaborasi dengan kelompok kelompok lain, baik yang memiliki kesamaan profesi maupun yang tidak.
“Fail to Nail”
Terakhir, untuk bisa menjadi orang yang terbiasa berpikir out of the box, kita perlu siap gagal. Dari kegagalan itulah kita kemudian bisa melakukan improvisasi, perbaikan, hingga akhirnya mencapai keberhasilan. Kita pun tidak bisa hanya sekedar berpikir saja. Semua pemikiran ini harus dituangkan ke dalam bentuk nyata. Kita juga harus mampu berpikir praktis. Head to hands. Tidak ada gunanya ide-ide brilian jika hanya macet di pikiran kita. Put your ideas into action as soon as they arise, either through sketching, discussing or prototyping. Launch it. Give your idea a birth. Lantas biarkan nasib menentukan, apakah ide anda berhasil, atau tidak. Jika gagal, yakinlah Anda sudah selangkah lebih dekat pada keberhasilan. Jangan takut atau bahkan berhenti melahirkan ide-ide out of the box lainnya. Berani?
Eileen Rachman & Dyah Larasati
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 1 Februari 2020.