“Hi Tech, Low Touch”

by bkrismawan

Ketika kinerja menjadi masalah besar dalam organisasi, baik lembaga pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan, kita serta-merta akan bertanya dan menantikan gebrakan apa yang akan dilakukan oleh pemimpin untuk bisa menggenjot kinerja tersebut. Di departemen yang kebetulan memiliki menteri seorang jagoan teknologi, banyak yang berharap bahwa gebrakan itu akan menyangkut disrupsi teknologi. Namun, sesungguhnya kita pun bertanya-tanya, bisakah manusia dikelola melalui kecanggihan sebuah aplikasi atau teknologi?

Perusahaan bisa diumpamakan ibarat sebuah keluarga. Ada kalanya anak yang menginjak usia remaja tiba-tiba berubah 180 derajat, malas-malasan tidak mengerjakan pekerjaan sekolahnya, mulai berbohong, bahkan mungkin melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Bisakah kita memperbaikinya dengan aplikasi yang ada? Ada memang aplikasi yang bisa mengontrol keberadaan seseorang dari telepon pintarnya, tetapi hal itu tidak serta-merta membuat orang tersebut jujur dengan keberadaannya, bukan? Bila mempunyai pacar atau calon pasangan yang memiliki kebiasaan buruk, bagaimana cara kita mengubah perilakunya agar bisa hidup selaras dengannya nanti?

EXPERD sendiri juga memiliki aplikasi alat bantu monitor perubahan tingkah laku coachee dalam proses coaching. Namun, proses diskusi tatap muka tetap harus dilakukan. Bila tidak, bagaimana mungkin seorang coachee akan berubah atau berkembang. Jadi pertanyaannya, bagaimanakah kita akan mengelola manusia dalam kepemimpinan? Apalagi bila manusia yang kita pimpin berjumlah ribuan orang, bagaimana kita akan menyentuh satu per satu dari mereka?

Keberbedaan manusia

Kembali di dalam keluarga, kita sering melihat bagaimana anak yang dibesarkan dalam rumah yang sama, dengan pola asuh orangtua yang sama, jenis kelamin mungkin sama juga, tetapi menampilkan perilaku yang berbeda-beda. Tidakkah demikian juga manusia dalam organisasi? Tidak ada bawahan yang sama persis satu sama lain. Mereka masuk ke organisasi dengan DNA yang unik. Mereka terbentuk tidak saja dari genetiknya, tetapi juga oleh keluarga, sekolah, kultur, keyakinan, dan pengalaman-pengalaman masa lalu yang bisa menunjang, tetapi bisa juga disruptif bagi organisasi kita.

Manusia bukanlah makhluk homogenous yang bisa diperlakukan seperti sekelompok bebek. Ada bawahan yang sangat penurut tetapi tidak kritis. Ada juga yang perfeksionis, teliti tetapi lamban. Ada yang sangat terlalu pede, tahu segala, tidak senang diatur dan terlalu cepat mengambil keputusan. Ada juga yang banyak bicara, suka mendebat tidak peduli benar atau salah. Kita juga sering menemui individu-individu yang didominasi pikiran negatif terus. Apa pun kejadiannya negative automatic thoughts-nya yang dominan. Tidak kurang juga bawahan yang sebenarnya mampu, tetapi penuh kekhawatiran dan banyak worry serta pesimistis. Selain itu, ada bawahan yang goal getter yang menerkam setiap tantangan dan mengerjakan sampai tuntas, tetapi terasa kurang manusiawi bagi rekan-rekannya.

Sementara itu para CEO, menteri atau pimpinan lembaga yang canggih-canggih biasanya juga tidak mendapatkan pendidikan formal dalam mengelola manusia. Kesemuanya berdasarkan pengalaman dan bahkan trial and error.

Orang-orang yang sudah biasa mengelola orang pasti juga setuju dengan ragam-ragam manusia di atas. Bahkan, masih ada 1.001 tipe manusia lagi yang ditemui dan tentunya harus ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Namun, sebagai atasan, kita tetap harus ingat: “People management is about bringing out the best in a person, unlocking an employee’s potential in a way that propels them and your company to greater engagement and success.”

Lemaskan otot empati dulu

Semua setuju bahwa sumber kekuatan memimpin manusia terletak pada kekuatan rasa. Kuncinya adalah bagaimana mereka bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, meminjam perspektif orang lain sehingga bisa berpikir bersama mereka. Hal ini bukan bakat sejak lahir, kita perlu berlatih menguasai keterampilan ini, bahkan menganggap kekuatan ini sebagai hard skills yang terpenting.

Isu-isu, seperti komunikasi, saling menghargai, motivasi, reputasi dan moral adalah masalah yang akan kita temui sehari-hari. Bayangkan bagaimana beratnya perjuangan organisasi bila seorang pemimpin direkrut hanya karena kemampuan teknis yang bagus, tanpa kekuatan pengelolaan manusianya.

Peter Drucker, Bapak Manajemen Modern pernah mengatakan, “Never say ‘I.’ And that’s not because they have trained themselves not to say ‘I.’ They think ‘we’; they think ‘team’. Pemimpin yang berhasil akan membuat kelompoknya berfungsi optimal. Mereka berpikir bagi kepentingan kelompok dan selalu mengatasnamakan “we” bila mendapatkan pujian. Keluaran dari suasana begini adalah rasa saling percaya yang tumbuh tanpa bisa dikontrol langsung.

Salah kaprah istilah “managing people”

Sama dengan menjalankan rumah tangga, kita sebagai pasangan tentunya tidak nyaman bila dianggap dikelola atau mengelola pasangan bukan? Namun, tentunya kita perlu membangun hubungan dengan mereka agar terjadi kekuatan rasa. Dalam istilah Eric Berne, dikenal tiga pola hubungan antarmanusia: orangtua–anak, anak–anak, dan dewasa–dewasa.

Seorang pemimpin perlu membangun hubungan dengan anggota kelompoknya secara dewasa–dewasa, menganggap anak buah adalah manusia utuh yang perlu diajak berkompromi hingga terjadi kesepakatan. Jadi, kita bukan menyuruh, menerangkan, atau menginstruksikan secara satu arah, seperti orangtua ke anak, melainkan kita berdiskusi sampai terjadi pemahaman dan kesepakatan tentang apa yang harus dan akan dikerjakan. Oleh karena itu, individu akan melakukan hasil kesepakatan tersebut dengan penuh kesadaran karena keinginannya datang dari dirinya sendiri.

Seorang pemimpin perlu membangun hubungan dengan anggota kelompoknya secara dewasa–dewasa, menganggap anak buah adalah manusia utuh yang perlu diajak berkompromi hingga terjadi kesepakatan.

Daniel Pink, pengarang buku Drive, mengatakan bahwa motor penggerak manusia sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri. Energi manusia untuk bekerja akan bergerak bila ada tiga hal: “mastery, autonomy, dan purpose”. Ketiga hal inilah yang perlu digelitik atasan bila ingin mendapatkan persetujuan bawahan atau anak buah untuk bergerak, mengejar target atau berubah. Melalui ketiga materi ini, kita bisa sepenuhnya menaruh perhatian pada desire anak buah dan akhirnya mendorong mereka untuk bergerak atas kemauannya sendiri.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Desember 2019.

Share to

Artikel Menarik Lainnya