Kesetiaan menjalani perintah dari orangtua tidak lagi menjadi sebuah beban, tetapi kewajiban. Apalagi kalau perintah itu untuk menjaga situs bersejarah perjalanan proklamasi Indonesia. Itulah yang kini dijalani oleh Idris (43) yang setia menjaga Monumen Kebulatan Tekad di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Monumen berbentuk tugu tersebut dibangun untuk memperingati peristiwa Rengasdengklok sekaligus menjadi simbol kebulatan tekad sehingga akhirnya generasi muda dan tua sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
“Empat bulatan seperti telur di samping bulatan besar itu mewakili empat penjuru mata angin dan tangan kiri mengepal itu melambangkan bahwa tekad para pejuang saat itu sudah bulat untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia,” ujar Idris yang pada siang terik itu terlihat rapi dengan kemeja hitamnya.
Idris merupakan keturunan ketiga yang menjaga monumen tersebut. Sudah 10 tahun, ia melakoni tugas untuk merawat situs bersejarah ini karena wasiat Mat Loji, ayahnya yang juga menerima pesan serupa dari kakek Idris.
Idris mengaku terpanggil untuk menceritakan kisah yang sebenar-benarnya kepada pengunjung supaya sejarah tidak salah. Di sini, setiap 16 Agustus selalu diadakan malam renungan. Idris mengatakan, malam renungan ini biasanya cukup ramai dikunjungi, dari pegawai pemerintahan hingga anak muda.
Monumen Kebulatan Tekad berdiri di atas lahan 1.500 meter persegi dan diresmikan pada 17 Agustus 1950 oleh Mohammad Hatta. Awalnya, lahan ini merupakan markas asrama tentara Peta. Di belakang tugu ini, ada relief di sebuah tembok panjang yang menceritakan perjalanan proklamasi. Tugu ini sendiri dibangun dengan biaya total Rp 17.500 yang didapatkan dari sumbangan masyarakat dan bantuan pemerintah kala itu.
[su_slider source=”media: 6513,6510,6509,6508,6507,6506,6505,6504″ limit=”8″ link=”lightbox” width=”620″ height=”340″ title=”no”]
Idris mengucapkan syukur karena dia sudah diangkat menjadi tenaga honorer yang berarti dia sudah mendapatkan gaji tetap. Walaupun tak mengatakan besarannya, dia tak menampik akan tip yang diberikan oleh pengunjung. Dia mengaku, uang hasil dari pengunjung dia kumpulkan untuk merawat monumen ini, mulai dari perawatan pohon, rumput, hingga cat.
“Inginnya, saya kalau ada modal atau uang, rumputnya saya ganti seperti rumput di lapangan golf. Biar kelihatan rapi terus, gitu. Kalau panjang, kan tidak tinggi, tapi jatuh ke samping. Kalau rumput biasa, kan meninggi. Jadi, harus rajin potong,” ujarnya.
Rumah sejarah
Dari Monumen Kebulatan Tekad, Idris mengajak melihat rumah sejarah Rengasdengklok, tempat Djiauw Kwin Moy atau Iin (63) sehari-hari merawat rumah tersebut.
Iin adalah cucu dari Djiauw Kie Siong, pemilik rumah bernilai sejarah tersebut dan menjadi saksi saat bertemu Soekarno dan Mohammad Hatta datang bersama Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra yang saat itu masih berumur 9 bulan.
Lokasi rumah ini bukan lokasi yang sebenarnya. Awalnya, rumah ini terletak dekat dengan Sungai Citarum. Namun, karena terjadi abrasi, Siong berinisiatif memindahkan rumahnya pada 1957. Keputusan itu benar karena setahun kemudian, banjir besar terjadi dan membelokkan aliran sungai. Lokasi rumah itu sudah berada di tengah aliran sungai itu.
“Sekarang hanya tampak depan dan tengah yang masih asli. Dulu dipindahkan bersama-sama warga. Dilepas semua dan rangkanya diangkat sampai sini. Dulu di sisi kiri kanan rumah ada bangunan lagi. Rumah khas orang dulu kan begitu, besar-besar. Sekarang, bagian dalam sudah diubah untuk tinggal kami,” ujarnya.
Iin menceritakan, keasliannya berusaha dipertahankan karena pesan dari Siong. Sedangkan kalau soal material yang asli, hanya tersisa dipan milik Bung Hatta, beberapa kursi dan meja yang sudah sedikit direnovasi, dan ubin terakota. Dipan milik Bung Karno sudah dibawa ke museum di Bandung.
Sementara itu, ubin di teras sudah diganti dan rangka atap dicat untuk mempertahankan kualitasnya. Bagian ruang tamunya, dijadikan ruang sembahyang. Di dindingnya bergantung foto Siong, Bung Karno, Bung Hatta, dan beberapa foto bersejarah lainnya lengkap dengan peralatan sembahyang ala Tionghoa.
“Hampir setiap hari ada yang datang ke sini. Kalau mau 17-an seperti sekarang, biasanya makin banyak. Beberapa furnitur kami coba renovasi agar tidak rusak. Saya setiap hari merawatnya bersama keluarga dan suami karena pesan orangtua. Lagi pula, ini bersejarah,” ujarnya.
Iin merasa senang karena rumah ini sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Beberapa renovasi dan tambahan lemari di dalam ruangan diberikan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang peduli terhadap sejarah rumah ini. Dia hanya berharap, rumah ini bisa terus dikenang sebagai bagian dari sejarah Indonesia dan tidak dilupakan. [VTO]
foto: Antonius SP
[su_divider top=”no” style=”dashed”]
noted: Setia Menjaga Saksi Bisu Proklamasi