Krisis air di perkotaan, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, mendorong sejumlah wilayah mengambil langkah strategis untuk melindungi sumber daya paling penting itu. China menggagas Sponge City.
Sekitar 20 persen penduduk dunia ada di China, tetapi negara ini hanya memiliki 7 persen air tawar layak konsumsi. Pada 2014, 11 dari 31 provinsi di China tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan World Bank, yaitu 1.500 meter kubik per kapita. Sementara itu, pertanian dan industri menggunakan sekitar 85 persen dari total konsumsi air.
Saat ini, hanya 20–30 persen air yang terserap kembali di wilayah urban karena banyaknya perkerasan tanah. Ini mengganggu sirkulasi alami air, yang lantas memicu adanya penggenangan, polusi air, dan banjir. Padahal, di lingkungan alaminya tanah menyerap sebagian besar air permukaan.
China kemudian meluncurkan proyek Sponge City atau kota spons sebagai inisiatif untuk meningkatkan ketersediaan air di kawasan urban. Pemerintah China mengombinasikan solusi berbasis alam dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) untuk mengurangi penjenuhan tanah oleh air (water-logging), meningkatkan kualitas ekosistem, dan menangkap air limpasan untuk digunakan kembali. Targetnya, 70 persen air hujan bisa diserap kembali.
Langkah konkretnya seperti dibuatnya atap dan dinding hijau atau perkerasan jalan yang permeabel. Selain itu, digalakkan pula pembangunan infrastruktur untuk menangkap air dan mengembalikannya sebagai cadangan untuk irigasi pada saat musim kering. Pada 2020, 20 persen wilayah urban kota dicanangkan sudah mengimplementasikan konsep Sponge City.
Hal ini sudah tampak di Shanghai, misalnya. Di distrik Lingang atau Nanhui, trotoar dintegrasikan dengan pepohonan dan taman. Di antara situs-situs kontruksi, direncanakan pembangunan taman dan saluran air. Trotoar dibuat permeabel, memungkinkan air terserap kembali ke tanah. Danau buatan Dishui membantu mengendalikan aliran air. Bangunan-bangunan pun sudah mengaplikasikan konsep atap hijau dan memiliki penampungan air hujan.
Sejak banjir besar di Beijing pada 2012, pencegahan banjir juga menjadi agenda negara. Sponge City akan berkontribusi banyak untuk agenda ini. Profesor Hui Li dari Tongji University pernah mengatakan, hal pertama yang mesti diupayakan adalah membuat saluran air yang mendekati saluran alami karena itu cara yang natural untuk menurunkan risiko banjir.
Pendekatan yang sama sebenarnya bisa diterapkan di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Upaya yang tidak hanya meningkatkan ketahanan air, tetapi juga kualitas hidup. [*/NOV]
Foto dokumen Shutterstock.com
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 26 Maret 2018