Ketika mengunjungi Kosta Rika beberapa belas tahun silam, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI periode 2000–2004 I Gede Ardika terkesima. “Saya seperti memasuki hutan yang sangat besar,” katanya.
Setiap rumah diteduhi pepohonan. Ardika begitu terkesan ketika mendengar cerita, negara ini memberikan insentif khusus bagi penduduk yang memelihara pohonnya. Ini adalah pelibatan individual di cakupan negara dalam upaya-upaya konservasi. Komitmen untuk menjaga lingkungan sampai ke tingkat yang paling kecil.
Tak terbayangkan, sebelumnya negara ini sempat mengalami deforestasi yang parah. Itu terjadi pada periode selepas Perang Dunia II sampai awal 1990-an. Keanekaragaman hayati dan ekosistem terancam. Hampir 80 persen hutan di Kosta Rika dialihfungsikan sebagai peternakan dan perkebunan. Penggunaan pestisida untuk membudidayakan pisang dan buah-buahan lain membuat air terkontaminasi.
Negara ini lalu menyadari betapa mendesaknya konservasi untuk dilakukan. Sejumlah strategi diterapkan dengan cepat. Negara ini menerapkan sejumlah program lingkungan, termasuk Forest Credit Certificate pada 1986 dan Forest Protection Certificate pada 1995. Program yang lebih menyeluruh diinisiasi pada 1997, Payment for Environmental Services (PES) atau Pagos por Servicios Ambientales (PSA).
PES di Kosta Rika adalah sistem subsidi konservasi pertama di dunia yang diimplementasikan dalam skala nasional. PES adalah sistem pembayaran untuk bentuk-bentuk jasa yang mengarah pada pemeliharaan keberlanjutan lingkungan. Jasa ini mencakup mitigasi emisi gas rumah kaca, pelestarian hidrologi, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemeliharaan lanskap.
Gagasan PES sederhana, pemilik tanah diganjar secara finansial untuk aksinya memelihara lingkungan yang bermanfaat untuk orang lain. Sistemnya berjalan seperti siklus, sehingga rantai pemeliharaan tidak terputus. Pengguna air di dataran rendah, misalnya, akan memberikan insentif kepada komunitas di dataran tinggi untuk pepohonan yang ditanam atau hutan yang dijaga sehingga debit air tanah stabil.
PES mendorong munculnya aturan-aturan lebih jauh tentang deforestasi dan jasa lingkungan yang mungkin dijual para pemilik hutan. Setelah itu, didirikan pula institusi National Forestry Financing Fund (Fonafifo) untuk mengawasi sistem pembayaran jasa lingkungan PES. Fonafifo menetapkan bahwa sebagian pajak bahan bakar akan digunakan untuk mendukung konservasi lingkungan. Beberapa tahun lalu, Fonafifo juga mencetuskan cara baru untuk melestarikan sumber daya air dengan menaikkan pajak air. Sebesar 25 persen dari pajak air itu dipakai untuk membayar jasa lingkungan yang terkait dengan pemeliharaan daerah aliran sungai (DAS).
Kosta Rika tak berhenti berinovasi. Negara ini kini juga memiliki green bank card, kartu debit yang diciptakan untuk mengumpulkan dana konservasi. Warga mengakumulasikan poin yang mereka dapat lewat penggunaan kartu itu, yang kemudian dikonversi oleh bank menjadi dana untuk proteksi keanekaragaman hayati. Fonafifo juga menggunakan dana itu untuk melindungi hutan di area yang tidak memiliki pengguna hilir untuk membayar jasa lingkungan.
Seiring dengan membaiknya kondisi lingkungan, kepariwisataan di Kosta Rika berkembang pesat. Dana dari pariwisata pun dikembalikan untuk pelestarian lingkungan. Diperkirakan 53 persen penghasilan dari kepariwisataan didedikasikan untuk keberlanjutan wisata ekologis. Area perlindungan di Kosta Rika, sebagai contoh, mendatangkan lebih dari satu juta pengunjung setiap tahun, menghasilkan pendapatan dari tiket masuk lebih dari lima juta dollar Amerika Serikat pada 2005, dan mempekerjakan sekitar 500 orang.
Di Indonesia dengan wilayah yang begitu luas, sistem yang diterapkan Kosta Rika menarik untuk diadopsi. Ide dasarnya, menjadikan konservasi bagian dari tanggung jawab masing-masing warga negara. [NOV]
Foto dokumen Shutterstock.com