Lantunan ayat-ayat suci mengalun syahdu dari sebuah bangunan di bawah kolong Tol Ir Wiyoto Wiyono. Bangunan tersebut bentuknya unik. Desainnya seperti kelenteng, tetapi berfungsi sebagai masjid. Tempat ini disebut Masjid Babah Alun.
Siang itu, Selasa (5/6), beberapa orang tampak sedang bersiap-siap shalat di masjid yang terletak di Jalan Papanggo Gang 21, Jakarta Utara. Sebagian ada yang mengaji, sebagian lagi berzikir. Beberapa anak kecil tampak sedang bermain di aula sekitar masjid.
Bagi warga sekitar, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Tempat yang awalnya kumuh ini, sekarang bertransformasi menjadi tempat beribadah sekaligus pusat kegiatan warga. Pengurus Masjid Babah Alun, Muntaha, menuturkan, awalnya daerah sekitar masjid ini dipenuhi sampah dan rumah kumuh.
[su_youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=EpvOR0rguVs” width=”640″ autoplay=”yes”][su_youtube url=”https://www.youtube.com/watch?t=17&v=fW-GgbZjC68″ width=”620″ autoplay=”yes”][/su_youtube]
Pada pertengahan Agustus 2017, masjid ini mulai dibangun atas inisiatif pewakaf yang merupakan seorang mualaf keturunan Tionghoa, M Yusuf Hamka. Tempat ibadah ini akhirnya diberi nama Masjid Babah Alun sesuai dengan nama kecil pewakaf, yaitu Alun.
“Setelah masjid dibangun, respons masyarakat sekitar cukup positif karena lingkungan yang tadinya kumuh dan kotor akhirnya menjadi lebih asri dan bersih. Pembangunan masjid ini juga memberikan efek peningkatan ekonomi untuk warga sekitar, seperti adanya jasa parkir hingga warung kopi,” beber Muntaha.
Tiga unsur
Dalam suatu wawancara di TV swasta, Yusuf sempat bercerita latar belakang berdirinya masjid ini. Yusuf bekerja di perusahaan infrastruktur jalan tol. Selama ini, salah satu permasalahan kolong tol adalah timbunan sampah dan deretan bangunan liar. Ketika terjadi musibah kebakaran di daerah tersebut, efeknya akan mengakibatkan kemacetan di jalan tol.
Setelah berdiskusi dan mendapatkan izin dengan pihak terkait, akhirnya Yusuf berinisiatif membangun masjid di bawah kolong tol. Masjid yang dibangunnya bergaya Tionghoa seperti kelenteng. Dia memadukan tiga unsur, yaitu Islam, China, dan Indonesia.
“Saya adalah seorang Tionghoa, mualaf, dan cinta Tanah Air Indonesia. Ketiga hal tersebut yang menggambarkan Masjid Babah Alun. Saya punya impian, setiap membuat sesuatu itu harus menguntungkan orang sekitar. Kita sudah menggunakan jalan tol di atas, tetapi di bawahnya masih ada orang-orang yang kekurangan. Saya berharap, masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga bisa bermanfaat secara ekonomi untuk warga sekitar,” katanya.
Hijau dan merah
Jika dilihat sekilas, orang tentu tidak akan menyangka bangunan ini adalah masjid. Pasalnya, masjid ini tidak menggunakan kubah seperti biasanya, tetapi atap-atap seperti bangunan China.
Warnanya juga cukup mencolok dengan dominasi hijau dan merah. Penggunaan kedua warna ini menyiratkan makna tersendiri. Muntaha menjelaskan, hijau menjabarkan arti kembali ke alam. Hal ini bertujuan agar orang yang datang ke masjid ini bisa tenang seperti berada di alam. Sementara itu, merah menggambarkan arti kebahagiaan. Harapannya, orang bisa datang ke Masjid Babah Alun dengan merasa sejuk dan bahagia.
Desain pintunya juga cukup khas. Bentuknya bundar besar dengan bulatan-bulatan kecil dan kenop pintu khas China. Tersedia tiga pintu model seperti ini. Satu sebagai pintu utama, satu untuk pintu masuk jemaah laki-laki, dan satu lagi untuk jemaah perempuan.
Masuk ke masjid, kita akan mendapati desain langit-langit yang dicat biru dengan aksen awan. Di sekeliling langit-langit tertulis aksara Arab. Masjid yang mampu menampung hingga 400 jemaah ini tampak nyaman.
Wudhu
Beralih ke tempat wudhu, kita akan mendapati beberapa keunikan. Keunikan pertama tersedianya petunjuk dalam 3 aksara, yaitu bahasa Indonesia, China, dan Arab. Hal ini bertujuan untuk memudahkan siapa pun, baik orang lokal maupun asing yang akan beribadah di sini.
Keunikan kedua, tersedianya tempat duduk di masing-masing tempat wudhu. Muntaha menjelaskan, tempat duduk ini sengaja dibuat karena mengikuti sunnah agar setiap gerakan pergantian wudhu bisa dengan nyaman membaca doanya.
“Tempat wudhu yang model tanpa tempat duduk seolah-olah membuat orang ingin cepat selesai sehingga kurang nyaman membaca doa. Lokasi wudhu dengan tempat duduk ini bermanfaat untuk mereka yang sakit pinggang atau orang yang sudah tua agar bisa wudhu dengan nyaman,” tambah Muntaha.
Saat berkunjung ke sana, masjid ini sedang mengalami proses pembangunan di bagian belakang. Rencananya di area tersebut akan dibangun taman pendidikan Al Quran (TPA). Yusuf berharap, masjid ini bisa menjadi tempat beribadah semua orang tanpa memandang ras dan golongan.
“Mudah-mudahan hal ini bisa saya getok tularkan ke teman-teman Tionghoa yang lain. Layanilah jangan hanya memberi uang atau sembako karena tidak akan membekas. Namun, jika kita bisa melayani setiap hari kebutuhan masyarakat, Insyaallah mereka akan turut membantu dan menjaga kita,” ungkap Yusuf.
Keberadaan Masjid Babah Alun bisa menjadi inspirasi kita bahwa berbuat baik bisa dilakukan di mana saja. Bahkan, di tempat seperti kolong jalan tol sekalipun. Semoga kehadiran masjid ini bisa memotivasi setiap orang untuk senantiasa berduyun-duyun ke masjid seperti di Masjid Babah Alun. [INO JULIANTO]