Suatu hari pada awal 2009, Nila Tanzil tersesat dalam perjalanannya di Luang Prabang, Laos. Ia melihat sebuah sekolah di balik kuil kecil, lalu mampir. Seseorang menyambutnya. Guru bahasa Inggris.
Setelah berbincang sebentar, guru itu menawari Nila untuk ikut mengajar bahasa Inggris. Nila pun memperpanjang kunjungannya di Luang Prabang dan mengajar anak-anak di sekolah itu selama dua minggu.
Pada tahun yang sama, ia juga mampir ke sebuah sekolah di Myanmar. “Kondisinya memprihatinkan, seperti banyak sekolah di Indonesia Timur,” tutur Nila, Rabu (20/6). Setelah bertanya pada seorang guru apa yang dibutuhkan anak-anak itu, Nila pergi ke pasar dan membeli banyak sekali pensil. Mereka kekurangan alat tulis.
Kali lain di Kamboja, ketika menuju kasir setelah selesai makan di sebuah restoran, Nila melihat ada batu bata dipajang di kasir. Petugas kasir itu menjelaskan, mereka sedang mengumpulkan donasi untuk membangun sekolah. Nama-nama donatur kelak diukir pada batu bata. Nila tergugah. Barangkali, suatu saat ia bisa melakukan sesuatu yang berarti di bidang pendidikan.
Suatu saat yang dinanti itu datang tidak terlalu lama. Setelah mengambil jeda dari bekerja dan bepergian selama delapan bulan pada 2009, ia mendapat tawaran untuk bekerja di Labuan Bajo–tempat menyelam favoritnya. Sambil bekerja, Nila membangun mimpinya. Menyiapkan perpustakaan untuk anak-anak.
Nila bercerita, di Indonesia Timur anak-anak kesulitan mengakses buku. Perpustakaan sekolah pun kerap tak menyediakan buku-buku yang menarik; kebanyakan hanya buku pelajaran. Perpustakaan pertama itu dibuka di rumah seorang warga yang memiliki pekarangan luas di Kampung Roe, Flores Barat.Nila membawa lebih dari 200 buku yang terdiri atas komik, komik sains, ensiklopedia anak, cerita rakyat, dan beragam dongeng. Ia terkesan melihat antusiasme anak-anak yang datang hari itu, yang segera menyerbu buku-buku tersebut. Nila menamai perpustakaan itu Taman Bacaan Pelangi.
Setelah perpustakaan pertama itu, satu demi satu perpustakaan lain dibuka. Kini, Taman Bacaan Pelangi memiliki 82 perpustakaan di 15 pulau di Indonesia Timur. Menjangkau lebih dari 20 ribu anak dengan lebih dari 140 ribu koleksi buku-bukunya.
“Kalau dulu perpustakaan ini ada di rumah penduduk atau balai desa, sekarang Taman Bacaan Pelangi ada di sekolah-sekolah. Ternyata ini lebih efektif,” kata Nila.
Perpustakaan itu dirancang ramah anak. Dengan warna-warna pastel yang mengundang anak untuk masuk, meja kecil, juga karpet agar kegiatan membaca lebih nyaman. Buku-buku disusun dengan sampul menghadap ke muka sehingga anak terpapar dengan gambar-gambar dan judul yang menarik.Taman Bacaan Pelangi juga dilengkapi sistem kategorisasi buku berdasarkan kemampuan membaca anak. Ada enam level, yang dilabeli dengan nama binatang per levelnya: level kumbang, burung, ikan, rusa, singa, dan gajah. Guru kelas akan membimbing siswanya dengan menunjukkan level yang sesuai. Untuk hal ini, Taman Bacaan Pelangi juga mengadakan pelatihan bagi guru-guru tersebut.
“Kami juga mengadvokasi ke kepala-kepala dinas untuk mengadakan mata pelajaran Keperpustakaan di sekolah yang memiliki Taman Bacaan Pelangi. Pelajaran ini diberikan setiap satu jam setiap minggunya. Guru-gurunya dibekali lewat pelatihan yang diberikan,” cerita Nila. Dalam pelajaran Keperpustakaan itu, anak-anak diajarkan untuk misalnya membaca lantang atau membaca bersama.
Kebiasaan membaca para siswa, seperti dipantau tim support monitoring Taman Bacaan Pelangi, meningkat. Jumlah buku yang dipinjam kian banyak dari waktu ke waktu. Kosakata anak lebih kaya. Wawasan pun lebih luas. Dulu, Nila bercerita, sebelum perpustakaan dibangun para siswa kebanyakan akan menjawab “guru” ketika ditanya cita-citanya. “Kini lebih beragam. Bahkan ada yang bilang ingin jadi arkeolog!” kata Nila bersemangat.Kini, Taman Bacaan Pelangi juga meluncurkan program baru, program bebas buta huruf. Di Indonesia Timur, kemampuan membaca tidak merata. Pada beberapa sekolah, bahkan ditemukan siswa di jenjang 5 SD yang belum bisa membaca. Pilot project-nya dilakukan di 4 SD di Flores pada 173 anak. Siswa-siswa yang belum bisa membaca ini, dengan difasilitasi para guru, diberi pelatihan khusus dua kali seminggu.
Setelah satu tahun, sebanyak 90 persen anak-anak itu sudah bisa membaca. “Yang 10 persennya adalah anak berkebutuhan khusus,” tutur Nila. Nila menekankan pentingnya peningkatan kualitas guru di Indonesia Timur untuk bisa mendampingi para siswa, termasuk juga yang berkebutuhan khusus.Perjalanan bermakna
Sejak lama, Nila mencintai perjalanan dan selalu ingin melakukan sesuatu di bidang edukasi. Ia lantas menggabungkan keduanya. Pada 2013 Nila menggagas Travel Sparks, agen perjalanan yang memadukan kegiatan wisata dengan kesempatan menjadi relawan di Taman Bacaan Pelangi.
Dalam perjalanan itu, wisatawan dapat berbagi dengan mendongeng atau bercerita tentang tempat asal mereka sambil menunjukkannya di peta. Biasanya, Nila juga meminta para wisatawan membawa foto-foto dari negara mereka untuk diperlihatkan kepada anak-anak.
Kegiatan wisata yang ditawarkan Travel Sparks disesuaikan dengan preferensi wisatawan. Untuk menghidupkan ekonomi lokal, Nila selalu bekerja sama dengan warga setempat dalam penyediaan jasa, baik transportasi, akomodasi, atau pemandu wisata.“Kami bahkan kerap membayar mereka lebih tinggi. Saya ingin mereka mendapatkan penghasilan lebih agar mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka dan membeli kebutuhan sekolahnya,” ujar Nila.
Perpustakaan dan agen perjalanan yang dibangun Nila telah membantu banyak orang untuk lebih berdaya. Pelangi itu tak hanya terlukis di taman bacaan, tetapi nyata-nyata hadir di langit anak-anak, juga banyak orang di timur. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 Juli 2018