Sampah bisa jadi masalah pelik jika tak diolah dengan baik dan tepat. Seperti dialami desa-desa di Kecamatan Sembalun, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Tanah Air, jumlah wisatawan yang mendatangi Lombok meningkat, tetapi sayang peningkatan tersebut dibarengi pula dengan sampah yang semakin menumpuk.
Pada 2016, Gunung Rinjani didaki lebih dari 90 ribu orang, jumlah ini jauh melebihi populasi penduduk Kecamatan Sembalun yang hanya 19 ribu orang. Ini menimbulkan masalah, karena sampah yang dihasilkan dari kegiatan pendakian mencapai 13 ton dan tidak dikelola dengan baik.
Tidak hanya sampah dari pendakian, kondisi di Kecamatan Sembalun diperparah dengan tidak adanya tempat pembuangan sampah sementara sehingga sampah rumah tangga dan sampah pertanian sering kali dibuang di sungai dan hutan atau dibakar.
“Pernah selama sebulan, murid-murid kami tidak bisa datang ke rumah belajar karena jembatan yang menghubungkan desa mereka dengan Rumah Belajar Sangkabira berada terputus dikarenakan hantaman dari air sungai begitu besar akibat debit air sungai yang meninggi,” kenang Siti Maryam Rodja, pendiri Baraka Nusantara dan Rumah Belajar Sangkabira.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan penting yang membuat Maryam dan teman-teman di Baraka Nusantara melakukan gerakan nyata untuk mengelola sampah yang ada di Sembalun. Baraka Nusantara merupakan gerakan kolaborasi pemuda Indonesia dan Australia. Gerakan pertama Baraka adalah menghidupkan dan memajukan kembali kopi sembalun yang kemudian mereka beri nama Kopi Pahlawan.
Budidaya jamur
Dari situ, sejak 2017, mereka menginisiasi program pengelolaan sampah di wilayah kaki Gunung Rinjani lewat program bernama Sangkabira Waste Management. Program tersebut fokus pada dua kegiatan, yakni daur ulang sampah plastik dan pengolahan sampah pertanian menjadi media tanam untuk budi daya jamur.
”Kami memilih jamur tiram karena ternyata jamur ini bisa tumbuh dengan baik karena cocok dengan iklim yang sejuk di sini. Selain itu, belum ada yang membudidayakan jamur tiram menjadi sebuah peluang besar untuk menyadarkan dan menghidupkan minat masyarakat untuk mengelola sampah yang salah satu hasilnya dapat menjadi media tanam untuk budi daya jamur,” terang Maryam.
Program ini juga berhasil mendapatkan funding Australia Award Program melalui Skema Hibah Alumni. Dari bantuan ini, teman-teman Baraka Nusantara dapat membeli mesin sterilisasi untuk mengolah sampah pertanian, mesin pancacah dan pencetak plastik untuk mengolah sampah plastik, membangun Hotel Sampah Sangkabira, dan mengadakan pelatihan bagi para pemuda Sembalun.
Pelatihan pengolahan sampah pertanian menjadi budi daya jamur tiram telah digelar pada 13 April 2018. Baraka Nusantara menggandeng kelompok Myotech asal Bandung sebagai mitra. Pelatihan tersebut diikuti oleh 20 anak-anak SMA dan telah melahirkan beberapa kelompok petani jamur muda.
“Mereka sudah berhasil memproduksi jamur tiram dan telah diperjualbelikan ke masyarakat, Ketika dilempar ke pasar, jamur tiram ini bisa seharga Rp 30.000 per kilo. Hasil penjualan ini pun sebagian untuk anak-anak dan sebagian besar lainnya disisihkan untuk kegiatan belajar di Sembalun,” jelas Maryam.
Sementara itu, pada 5–7 Juli 2018, Baraka Nusantara melaksanakan pelatihan pengelolaan sampah plastik bekerja sama dengan Precious Plastik Indonesia yang targetnya adalah para pemuda desa. Sampah plastik dibuat menjadi produk lain yang bermanfaat seperti mangkuk dan jam dinding.
Sukarelawan
Pada masa mendatang, menurut Maryam, Baraka Nusantara akan bekerja sama dengan sukarelawan yang berlatar belakang desainer aksesori untuk nantinya membantu teman-teman di Sembalun dalam mengubah sampah plastik menjadi aksesori menarik, seperti anting.
“Senangnya dalam menjalankan gerakan ini, Baraka Nusantara juga dibantu dengan warga Sembalun dengan sukarelawan. Seperti dalam menghadirkan Hotel Sampah Sangkabira kami mendapatkan pinjaman bangunan dari pemilik pondok pesantren pertanian di Sembalun, yaitu Bapak Abdurahman,” ungkap Maryam.
Dengan adanya gerakan ini, Baraka Nusantara mengharapkan masyarakat yang berpartisipasi dalam program ini akan lebih banyak. Karena program ini memiliki efek penurunan jumlah sampah, lingkungan lebih bersih, pelajar dan pemuda memiliki bekal kewirausahaan sosial. [ACH]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 12 Juli 2018