Terik yang menyengat itu sama sekali tak menguapkan energi anak-anak di Sekolah Alfa Omega. Mereka berlarian di lorong, dolanan gobak sodor, atau menyiangi rumput di lahan berkebun. Sekolah tak pernah membosankan karena kerap cara mereka belajar adalah dengan bermain.
Di dalam kelas, keriangan yang sama juga terasa. Bangku-bangku tak melulu ditata berjajar ke belakang; susunannya lebih cair. Anak-anak tak harus duduk dengan tertib dan hening. Alih-alih, kita menemukan mereka bergerak aktif, entah untuk mengungkapkan pendapat sambil memperagakan sesuatu, berdiskusi, atau sesekali kompak mengucap salam ketika kedatangan tamu.
Di Sekolah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Alfa Omega yang terletak di Salembaran, Teluk Naga, Tangerang, ini anak-anak merasa bebas mengekspresikan diri. Jenjang pendidikan sekolah ini merentang dari tingkat kelompok bermain sampai sekolah menengah atas.
Seluruh kegiatan dan kebebasan anak untuk bermain di sekolah ini adalah bagian dari metode pembelajaran. Lisa Sanusi, pendiri sekolah ini, sempat mempelajari sistem pendidikan di Finlandia dan Jepang. Ia mengambil kesimpulan, pendidikan harus menyenangkan, membentuk karakter, dan mampu memberi bekal soft skills atau kompetensi praktis yang dapat diterapkan dalam keseharian. Untuk itu, anak mesti pertama-tama menyukai sekolah.
“Dulu saya tidak suka sekolah,” kenang Lisa sambil tertawa. “Sekarang, kami ingin anak-anak berbahagia ketika sekolah dan merasa ini rumahnya. Kami ingin membangun generasi yang suka sekolah, suka belajar, dan menyukai Indonesia,” imbuhnya.
Bersama timnya, Lisa mengembangkan metode pendidikan yang mampu menyeimbangkan kemampuan akademik (hard skills) dengan keterampilan nonakademik (soft skills). Kurikulum yang berlaku nasional diajarkan berbarengan dengan beragam pelatihan, antara lain pertanian, eksperimen sains, menjahit, memasak, dan pertukangan.
Selain itu, bakat dan minat anak-anak ini juga disalurkan lewat bermacam ekstrakurikuler, seperti teater, musik, paduan suara, dan seni visual. Sekolah juga tak memberikan pekerjaan rumah agar waktu yang dimiliki anak-anak di rumah bisa digunakan untuk berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sekitar.
Sebelum pindah ke sekolah baru seluas tiga hektar di Salembaran pada 2017 itu, Alfa Omega yang berdiri sejak 2011 beroperasi di sebuah ruko di kawasan Cikokol, Tangerang. Alfa Omega mulanya adalah PAUD yang dibangun untuk mereka yang kurang mampu. Sampai sekarang, semangat melayani itu menjadi nadi Sekolah Alfa Omega.
[su_youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=gzAuyEs0oDs” width=”640″ autoplay=”no”][/su_youtube]
“Dari mereka yang belajar di sini, 80 persen anak biayanya disubsidi oleh sekolah. Sementara itu, orangtua yang mampu membayar penuh juga dapat mengikuti program orangtua asuh untuk membiayai siswa lain. Selain keringanan biaya pendidikan, anak-anak yang mengikuti program subsidi mendapat makan siang dari dapur umum kami,” kata Lisa.
Karakteristik dan latar belakang anak-anak yang bersekolah di sini pun begitu beragam. Mereka datang dari berbagai daerah di Jakarta. Ada yang tinggal dekat dengan sekolah, sampai yang rumahnya berjarak kira-kira 30 kilometer dari Salembaran. Alfa Omega juga menjadi tempat belajar bagi anak-anak panti asuhan atau mereka yang putus sekolah.
“Ada beberapa anak yang mulanya trauma bersekolah, sekarang justru sangat betah di sekolah. Mereka suka bermain di sini bahkan ketika jam pelajaran sudah berakhir. Kadang-kadang, kami sampai harus mematikan listrik agar anak-anak mau pulang,” cerita Lisa sambil tertawa.
Arsitektur berkelanjutan
Dengan konsep pendidikan seperti yang dicita-citakan Lisa dan tim Alfa Omega, arsitektur dan lingkungan sekolah menjadi pendukung penting bagi tercapainya tujuan pendidikan. Arsitektur itu mesti mampu menyokong ragam aktivitas anak dan memungkinkan tumbuh kembang anak optimal, misalnya dengan ruang-ruang terbuka dan sirkulasi udara yang baik. Realrich Sjarief, arsitek Sekolah Alfa Omega, bercerita tentang proses membangun sekolah ini.
“Sekolah ini dibangun di atas lahan yang berawa. Waktu kami masuk pertama kali, lahannya tergenang air setinggi satu meter. Konstruksinya harus yang ringan, tetapi tahan lama. Selain itu, kami juga ingin mengakomodasi visi sekolah dengan bangunan yang lebih terbuka dan alami,” ujar Realrich.
Keterbatasan lahan ini justru memicu proses kreatif karena harus menjembatani persoalan desain, teknik konstruksi, material, dan budget yang tersedia. Sekolah Alfa Omega lantas dirancang dengan mengintegrasikan empat bangunan modular, yang memiliki akses ke lapangan tengah.
Material utama bangunan ini adalah bambu, batu bata, dan baja. Baja dipilih karena kekuatan dan keawetannya. Bambu lantaran fleksibilitas dan sifatnya yang ramah lingkungan. Suplai bambu yang banyak diambil dari daerah sekitar pun memangkas jarak distribusi dan mengurangi jejak karbon. Atap bangunan dari nipah, yang ramah lingkungan sekaligus murah.
Sekolah Alfa Omega dirancang dengan sistem pendinginan bangunan pasif, yang mengandalkan ventilasi silang alami dari konstruksinya. Langit-langit yang terbuka menjadi jalur sirkulasi, juga celah yang dibentuk dari penyusunan batu bata di setiap sisi dinding kelas.
Dengan begini, aliran udara interior bisa tersirkulasi dengan optimal tanpa membutuhkan pendingin ruangan. Atap nipah, fasad bata, langit-langit bambu, dan lantai beton adalah material yang memungkinkan iklim mikro bangunan terjaga. Dalam setahun, temperatur interior bangunan ini rata-rata 27 derajat celcius.
Perpaduan metode pembelajaran, lingkungan, dan arsitektur Sekolah Alfa Omega memungkinkan anak untuk belajar dengan lebih efektif. Dan yang terpenting, dengan lebih gembira. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 20 April 2018