Menjelang abad milenium, Daniel Coleman mengguncang dunia inteligensi dengan konsep kecerdasan emosionalnya. Walaupun emosi sudah ada sejak zaman Nabi Adam dan Hawa, hal-hal yang berkenaan dengan kecerdasan kognitif dan logika tetap lebih sering diutamakan oleh manusia.
Ketika dihadapkan dengan masalah kemanusiaan, seperti kasus pemerkosa besar di negeri orang yang terlihat sebagai anak baik-baik, kita jadi bertanya, gangguan emosi apakah yang dimilikinya, sampai-sampai ia tega melakukan hal itu?
Apakah emosi sangat berperan dalam kehidupan manusia? Pernahkah Anda menemukan seseorang yang tidak pernah menangis? Atau, pernahkah Anda mengenal seseorang yang tidak bisa tertawa geli dan terbahak-bahak? Pernahkah Anda menemukan seseorang yang seolah-olah tidak bisa berbagi kasih sayang dengan orang lain akibat kemiskinan emosinya? Dari sinilah Daniel Goleman kemudian mendalami emosi dan sampai pada kesimpulan bahwa emosi berperan besar dalam kehidupan manusia dan mempunyai kekuatan luar biasa.
Bukankah sudah banyak studi yang membuktikan bahwa kebanyakan anak-anak penderita down syndrome memiliki kekuatan afeksi? Dengan bermodal emosi saja tanpa kecerdasan tinggi, mereka bisa bekerja dan bahkan menarik hati pelanggan. Sebuah restoran di negeri Belanda, mempekerjakan para penyandang down symdrome sebagai front liners dan ternyata restoran ini digemari oleh pelanggan karena keramahan pelayanannya.
Saktinya emosi
Kita tahu bahwa ada orang yang memiliki kebiasaan memancarkan emosi negatifnya ke lingkungan sekitarnya. Mereka bisa menarik turun energi di sekitarnya sehingga orang yang tadinya bersemangat bisa menjadi bad mood. Bayangkan dampaknya. “We engage in emotional contagion,” ungkap Sigal Barsade, seorang profesor yang meneliti pengaruh afeksi atau emosi di tempat kerja, “Emotions travel from person to person like a virus.”
Afeksi atau emosi ternyata mendominasi proses-proses psikologis dalam kehidupan manusia, terutama kehidupan emosionalnya. Setiap orang berada di dalam emotional island-nya yang terbungkus rapi dan membatasinya dengan individu lainnya. Ia membawa emotional island-nya ini ke mana-mana. Bila diasuh dalam rumah tangga kondusif yang mampu mendewasakan afeksi di island-nya ini, ia akan bertingkah laku dan bersikap dewasa. Bila tidak, emosinya yang kekanak-kanakan dapat membuatnya menjadi individu yang self oriented, sulit berhubungan dengan orang lain, penuntut, dan tidak bisa mengendalikan emosinya. Bila memasuki organisasi yang kondusif, secara bertahap individu yang dewasa membuka jendela emotional island-nya dan mulai berhubungan interpersonal secara emosional. Pada saat ini, afeksi atau emosinya akan memengaruhi proses-proses, seperti kinerja, pengambilan keputusan, kreativitas, kerja tim, negosiasi, dan kepemimpinannya.
Bersama rekannya Gibson, Barsade menggolongkan keterlibatan emosi di lingkungan kerja ke dalam tiga golongan berikut ini.
Pertama, discrete, emosi sesaat seperti rasa senang, marah, takut, ataupun kesal.
Kedua, mood yang merupakan kondisi afeksi yang lebih menetap secara jangka panjang dan tidak selalu berhubungan dengan penyebab eksternal. Bisa saja seseorang sedang berada dalam mood positif atau down berhari-hari.
Ketiga, emosi yang lebih menetap disebut dispositional yang mewarnai kepribadian individu. Kita bisa menemui orang yang penggembira ataupun orang yang selalu memberi sentuhan negatif pada situasi yang dialaminya.
Ketiga kekuatan ini bisa bermanfaat atau sebaliknya bisa tidak produktif tergantung pada kemampuan individu mengaturnya. Kemampuan emotional intelligence yang kuat membuat kita mampu mendata beragam situasi emosional. Para start up yang sukses mendalami perasaan, impian dan kebutuhan pelanggan untuk dapat merancang keunggulan produk mereka. Analisis yang dilakukan adalah analisa terhadap emosi pelanggan. Jadi, emosi memang perlu digerakkan dengan lebih strategis.
Kita semua adalah “emotional labor”
Kita tentunya perlu mengkaji ulang bagaimana memanfaatkan emosi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam mengasuh anak, membina keluarga, maupun berbisnis. Seorang teller bank terpaksa harus menjaga kestabilan emosinya, ketika seorang nasabah marah-marah karena kegagalan transaksinya. Ia terpaksa melakukan surface acting sesuai dengan roleplay yang sudah dilatihkan secara intensif. Namun, ia juga bisa melakukan deep acting, yaitu berusaha betul menjaga nama baik banknya, menjaga hubungan dengan nasabahnya dengan bersikap penuh empati, dan berusaha keras mencari solusi. Kita pasti yakin bahwa kedua perilaku ini mempunyai impact yang berbeda.
Praktik-praktik manajemen emosi yang efektif
Sampai hari ini, kekuatan hubungan emosi tidak bisa digantikan oleh mesin alias artificial intelligence. Bila tetap ingin bertahan pada zaman teknologi ini, pendekatan emosilah yang perlu kita perkuat.
Sikap yang paling harus dikembangkan untuk memperkuat emosi adalah observasi. Mulai dari observasi perasaan kita sendiri sampai pada hubungan dengan orang lain tanpa membuat penilaian terhadap hubungan itu. Cukup merasakan saja. Kita perlu bisa merasakan emosi tanpa membenahinya pada situasi yang paling tidak nyaman sekalipun. Sulitkah ini? Pasti sulit, tetapi kita bisa.
Selanjutnya, kepekaan terhadap emosi diri ini perlu diikuti dengan kepasrahan. Dengan pasrah, adrenalin untuk bertahan tiba-tiba akan muncul sendiri. Pada saat inilah kesadaran akan positif negatif emosi kita bisa meningkat. Dalam tahap ini, kita sudah siap membuka diri secara bertahap dan menularkan aura positif kepada individu lain. Inilah yang dinamakan non labeling awareness.
Banyak di antara manusia, hidup sampai usia tua, tetapi tidak pernah memperhatikan keadaan emosinya. Alih-alih berempati atau memancarkan emosi positif, menyadari keadaan emosinya sendiri pun tidak. Inilah latar belakang dari gejala penurunan semangat di perusahaan. Di sinilah kita perlu meningkatkan kesadaran kita dan berkeyakinan bahwa emosi kita bisa berbuat banyak bagi kekuatan perusahaan maupun keluarga kita. Stay present!
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 Januari 2020.