Diskusi mengenai calon direktur atau komisaris di perusahaan BUMN semakin memanas. Beberapa nama disebutkan, beberapa sosok bahkan sudah dipanggil dan diumumkan posisi barunya. Tentunya semua orang berharap bahwa para tokoh ini akan melakukan gebrakan-gebrakan pembenahan yang dapat membawa perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik. Terlepas dari pro dan kontra yang muncul sehubungan dengan penempatan tokoh-tokoh ini, kita semua pasti setuju bahwa perusahaan-perusahaan milik negara ini memang perlu dibenahi.
Krisis dunia sudah kita rasakan sekarang. Ekonomi negara-negara maju juga mengalami penurunan. Disrupsi digital menyebabkan perusahaan-perusahaan retail konvensional menderita. Seperti ramalan Stephen Hawking: “The future is indefinite and exists only as a spectrum of possibilities”, kita merasakan bagaimana kita semakin dekat dengan ramalan tersebut. Kontrak pekerjaan yang sudah ditandatangani pun bisa diubah sewaktu-waktu. Kita juga menjumpai berbagai kemungkinan perubahan, yang mungkin belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Kita pun dimudahkan untuk berhubungan dengan siapa saja, berbagi ide dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dari beragam segmen. Teknologi telepon pintar yang senantiasa ada di kantong kita saat ini, sudah jauh lebih maju daripada teknologi yang dulu memungkinkan manusia mendarat di bulan. Sebagai konsekuensinya, setiap manusia bisa mengubah dunia. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Perusahaan yang tadinya di ambang pintu kebangkrutan bisa disehatkan kembali. Pertanyaan utamanya, apakah kita memiliki pemimpin yang mau dan mampu mendobrak paradigma-paradigma lama dan betul-betul menginspirasi untuk melakukan perubahan.
Ketika seseorang menduduki jabatan sebagai pemimpin, ia memiliki wewenang dan otoritas untuk mengubah peraturan, proses bisnis, bahkan hukum yang berlaku. Namun, mengapa kita sering menyaksikan banyak pemimpin yang tetap tidak melakukan perubahan? Ada saja alasan yang dikemukakan untuk tidak melakukan perubahan ini. Ada yang ingin mengubah perlahan-lahan. Ada yang merasa bahwa perubahan drastis akan membuat perusahaan atau lembaganya terguncang. Yang jelas, tidak banyak kita temukan sosok yang berhasil mengguncang organisasi dan melakukan perbaikan. Bisa saja dia menduduki jabatan tersebut karena selama ini ia dianggap cukup inovatif, banyak gagasan. Namun, ketika memiliki wewenang untuk memimpin implementasi perubahan, ia malah tampak seperti orang yang kehilangan arah.
Pendobrak bukan “one man show”
Di masyarakat, kita memiliki formula 100 hari untuk melihat bagaimana kinerja seorang pejabat dalam membuat gebrakan-gebrakan baru. Untuk mendobrak, seorang pemimpin memang membutuhkan waktu untuk belajar terlebih dahulu. Ia perlu mencari akal bagaimana ia akan menggoyang organisasi agar doing, becoming, dan producing itu terjadi. Setelah itu, tidak ada jalan lain untuk segera take action.
Para pemimpin perlu meyakini bahwa gebrakan ini bukan miliknya sendiri. Organisasi yang betul-betul inovatif harus berisi ratusan manusia pendobrak, bukan satu orang saja. Ia perlu menginspirasi dan mengajak anggota tim lainnya untuk merasa “memiliki” gebrakan ini. Ia tidak mungkin bergerak sendirian. Ia perlu mengajak anak buahnya untuk memosisikan diri mereka masing-masing sebagai pendobrak.
Organisasi harus terdiri atas orang-orang yang saling menguatkan karena memiliki satu tujuan. Di sinilah peran pemimpin yang harus mendobrak paradigma-paradigma lama dan meyakinkan anak buahnya akan kemungkinan-kemungkinan yang tidak berbatas. Semangat bersama yang menggebu ini bisa memunculkan rasa gembira dan semangat baru. Jadi, seorang pemimpin pendobrak perlu memiliki nyali dan energi untuk meyakinkan para anggota kelompoknya agar melakukan perubahan dan segera bertindak.
Yang penting, “mindset“
Sepertinya tidak banyak kita melihat sosok-sosok yang melakukan gebrakan sehingga merasa bahwa sosok ini mungkin adalah manusia langka. Namun, bila ditelaah lebih lanjut, banyak tokoh yang sukses melakukan breakthrough ini ternyata tidak semuanya mengenyam pendidikan yang terlalu tinggi ataupun spesifik. Artinya, bukan pendidikanlah yang menentukan sukses tidaknya seorang pendobrak. Hal yang sangat terlihat pada tokoh-tokoh ini justru adalah tanggung jawabnya, bagaimana komitmen mereka terhadap pencapaian targetnya. Itulah sebabnya kita bisa mengambil kesimpulan: breakthrough leaders are made, not born.
Pemimpin-pemimpin yang berhasil tampak selalu kuat dalam self-cencorship, hal yang justru sering tidak dipedulikan pemimpin pada umumnya. Pemimpin perlu cepat mengenali kesenjangan yang ada, apa penyebab kesenjangan ini terjadi dan dengan cepat bisa mengukur diri mengenai posisinya saat ini. Tanpa kekuatan self awareness ini, ia akan kesulitan mengenali reaksi-reaksi apa yang tidak produktif di dalam dirinya sehingga ia tidak bisa mengatur bagaimana ia bisa mengontrolnya dan menampilkan kekuatan positifnya. Ini sangat penting untuk seseorang yang harus melakukan perubahan drastis.
Hal yang juga sangat penting adalah transfer tanggung jawab. Keterampilan pendobrak bukan berarti sekadar kesiapan mengemban tanggung jawab sendirian, tetapi bagaimana mentransfer rasa tanggung jawab ini ke seluruh tim. Di sini, dia tidak bisa hanya memberi informasi, tetapi juga harus melakukan transformasi. Dalam tahap ini, kepemimpinan memang terasa berat. Tetapi dengan keterampilan softskills yang baik, seorang pemimpin akan mampu menanamkan tanggung jawab yang lebih dalam kepada para anggotanya.
Dari semua ini, kita bisa melihat bahwa mindset-lah yang pertama-tama akan mendorong perilaku. Mindset orang bisa diubah. Seorang pendobrak perlu sadar bahwa ia memerlukan orang dewasa lain untuk melakukan perubahan. Dengan demikian, ia perlu mengubah mindset, tanggung jawab, dan sense of belonging para bawahannya. Bila mindset mereka tidak berubah, perubahan tidak akan langgeng dan sustainable.
Nah, siapakah manusia berkepribadian kuat ini? Apakah Anda salah satunya?
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 November 2019.