[su_audio url=”http://advisual.kompas.id/nusantara-bertutur/audio/festival-bau-nyale-di-mandalika.mp3″]
Kado ulang tahunku kali ini sangat berkesan. Ayah dan ibu mengajakku merayakannya bersama keluarga Tante Nurul yang tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rasanya tak sabar ingin bertemu Rumini, sepupuku yang cantik.
Kami disambut Tante Nurul dan Rumini dengan hangat.
“Dua hari lagi akan ada festival seru lho, Queen. Namanya Festival Pesona Bau Nyale,” kata Mini, panggilan akrab Rumini.
“Wah, asyik. Tapi namanya kok aneh. Bau Nyale? Festival apa itu?” tanggapku.
“Bau Nyale adalah tradisi Suku Sasak yang diwariskan turun temurun. Bau Nyale artinya menangkap cacing laut yang diadakan setiap tahun, tanggal 20 bulan 10 menurut kalender Suku Sasak. Tahun ini festivalnya bertepatan dengan hari ulang tahun Queena, lho, 24 Februari,” jelas Tante Nurul.
Aku pun tersenyum mendengar kata-kata Tanteku itu.
Menurut adik ibuku itu, cacing laut yang disebut nyale ini dipercaya masyarakat Lombok sebagai jelmaan Putri Mandalika. Putri mahkota Raja Tonjang Beru yang berparas cantik ini menjelma cacing setelah menceburkan diri ke laut, demi menghindari peperangan di antara pangeran yang ingin mempersuntingnya.
Festival Pesona Bau Nyale sendiri terpusat di Pantai Seger, tepatnya di sebelah timur Pantai Kute Mandalika, Lombok Tengah. Festival Bau Nyale dirangkaikan kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu), dan pementasan drama kolosal Putri Mandalika.
Pagi-pagi sekali kami berangkat, karena nyale hanya muncul sebelum matahari terbit, dan akan menghilang ke dalam batu karang ketika fajar mulai menyingsing.
“Mini, sebenarnya kenapa sih orang-orang tertarik menangkap cacing? Kan, jijik!” tanyaku penasaran.
“Masyarakat di sini percaya kalau nyale bisa mendatangkan jodoh dan membuat awet muda. Nyale juga jadi kuliner khas Lombok, lho, Queen,” terang Mini sambil menarikku ke pantai yang sudah dipenuhi warga dan wisatawan yang mulai berburu nyale dengan jaring khusus dan alat penerang.
Meskipun takut dan geli, aku beranikan diri menangkap nyale.
“Untuk melakukan sesuatu hal yang baru, harus diawali dengan keberanian,” kata ayah.
Aku mendapat pengalaman luar biasa dengan melawan ketakutanku. Rasa takut jadi takjub melihat nyale yang beraneka warna. Ada hijau, oranye, dan merah.
Betapa indah ciptaan Tuhan. Seperti indahnya Pantai Seger yang berpasir putih dengan gugusan bukit yang dihiasi monumen Putri Mandalika.
Suka cita hari itu semakin lengkap dengan hidangan Tante Nurul yang lezat. Pata’u Ni, ayam kampung yang dimasak dengan santan, lengkap dengan sambal Nyale Pa’dongo yang selintas seperti serundeng.
Semua nikmat ini membuatku semakin bersyukur. *
[su_note note_color=”#FF9″]
Oleh Tim Nusantara Bertutur
Penulis: Muthia Razella
Pendongeng: Paman Gery (instagram: paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita
[/su_note]