Seni hadir di dunia ini bukan berfungsi sebagai hiburan semata. Yang terpenting, seni hadir sebagai bentuk respons manusia terhadap alam dan lingkungan, baik dalam keadaan menyenangkan maupun tidak.
Berakar dari hal tersebut, OK. Video—sebuah divisi dari ruangrupa, organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta—sejak 2003 menginisiasi sebuah festival seni media Indonesia.
Festival tersebut bertujuan untuk mengamati, merekam, dan mempelajari perkembangan teknologi media, yang telah mengubah perspektif dan perilaku masyarakat terhadap pandangan sekitarnya. Dari festival ini kemudian berlanjut ke sebuah program bernama Open Lab.
“Open Lab bertujuan untuk mengeksplorasi dan menampilkan hubungan antara media, teknologi, dan politik pangan. Open Lab mengusulkan pendekatan laboratorium yang kolaboratif untuk produksi artistik yang dilakukan oleh seniman, ilmuwan, praktisi berbagai ilmu pengetahuan dari latar belakang yang berbeda-beda ke dalam satu upaya bersama,” terang Periset dan Kurator OK. Video Festival Bellina Rosellini atau biasa disapa dengan Erby.
Belakangan ini, isu pangan menjadi yang sering dibicarakan OK. Video. Isu pangan bukan hanya dilihat dari sisi sosial-ekonomi, tetapi juga budaya masyarakat setempat. Seperti di masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, Kalimantan Barat. Masyarakat Dayak Iban sangat bergantung dari hutan adat mereka, yaitu Sungai Utik, untuk sumber pangan mereka.
Total luasan areal hutan adat Iban di Sungai Utik mencapai 9.452,5 hektar. Dari total jumlah luasan itu, sekitar 6.000 hektar di antaranya merupakan kawasan lindung. Selebihnya adalah hutan yang dikelola masyarakat adat. Namun, tidak semua wilayah hutan adat dapat dikelola. Terdapat kawasan yang betul-betul dilindungi.
Kawasan lindung berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam, agar satwa dan tumbuhan memiliki tempat untuk berkembang biak. Masyarakat adat menyebut hutan lindung sebagai sumbernya kehidupan.
Juru masak yang fokus dengan kuliner Nusantara Rahung Nasution menyampaikan tentang arti hutan bagi masyarakat Dayak Iban, yaitu tidak ada masyarakat adat yang menebang kayu untuk tujuan komersial.
“Mereka menebang di hutan kelola adat dan untuk kebutuhan sendiri. Misalnya, untuk kebutuhan perbaikan atau pembangunan rumah. Semua sudah jelas diatur dalam hukum adat. Tidak akan ada yang berani melanggarnya,” kisah Rahung yang telah bertahun-tahun mendalami kekayaan kuliner masyarakat Dayak Iban.
Kearifan tradisional yang masih terjaga dengan lestari itu, pada 2008 pernah mengantarkan hutan adat Sungai Utik meraih penghargaan sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Mereka menjadi desa adat pertama di Indonesia yang meraih sertifikat tersebut. Namun, sayang dan sangat dikhawatirkan kondisinya kini mulai berubah.
“Gempuran modernitas yang masuk desa, godaan perusahaan kelapa sawit, beras miskin dari pemerintah yang menggusur keberadaan benih beras warisan keluarga, serta masalah yang paling mendesak: keinginan generasi muda urbanisasi ke pusat kota membuat puluhan keluarga Dayak Iban yang tersisa menjadi kunci. Ke manakah suku ini nantinya akan bermuara dan apakah satu-satunya hutan adat Kalimantan Barat itu nantinya akan tetap ada?” tanya Erby dengan gundah.
Berlatar belakang hal itu, OK. Video bekerja sama dengan British Council mempersembahkan karya dari hasil riset kolaboratif antara Cooking Sections (Inggris) dan Rahung Nasution (Indonesia) melalui perjalanan ke Desa Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pada Juli lalu, bersama perwakilan masyarakat Dayak Iban, mereka mencari tahu dengan menelusuri hutan, mengenali macam-macam tumbuhan, mempelajari resep keluarga, dan melihat pola makan masyarakat di sana.
Yang mereka temukan di sana kemudian dibawa ke Ibu Kota. Hasilnya ditampilkan dalam acara “A Collaborative Research Project: A Culinary Heritage of Dayak Iban”, sebuah pertunjukan makan malam persembahan Rahung Nasution dan Cooking Section, Juli lalu. Acara ini berlangsung dengan hangat di Sukanda Kitchen, Jakarta.
“Kolaborasi Rahung Nasution dan Cooking Section ini merupakan sebuah konsentrasi terhadap pangan yang tidak berhenti pada bumbu dan sajiannya. Melainkan sisi geopolitik, juga sejarah, menjadi segi yang digarap lewat kuliner yang tersaji,” jelas Erby.
Bahan masakan khas
Bahan-bahan yang mereka dapatkan dari Sungai Utik dibawa ke Jakarta kemudian diolah kembali dengan rasa yang familier dengan “lidah” orang kota.
Meski demikian, hal ini tak mengurangi keunikan yang ada di setiap bahan yang mereka gunakan. Contohnya, jambu hutan dari Sungai Utik.
Jambu hutan diolah seperti semur, tetapi tidak berkuah. Ketika disantap, rasanya sedikit masam dengan tekstur yang lunak. Hal ini terasa menjadi “tamu baru” di lidah para tamu yang datang.
Sementara itu, ikan yang dipilih untuk diasapkan ialah ikan lais. Ikannya renyah tanpa diasinkan sehingga bisa dimakan tanpa terganggu tulang.
Tidak hanya ikan lais, ada ikan jelawat. Rahung menginformasikan bahwa ikan jelawat merupakan salah satu ikan kualitas super yang ada di Indonesia.
“Ikan ini cukup mahal harganya. Di Kalimantan, harga ikan jelawat per kilo kira-kira Rp 60 ribu – Rp 150 ribu,” terang Rahung.
Bahan lainnya adalah buah kepayang, yang kemudian diolah seperti rendang. Ada pula buah Bunsi yang berwana jingga seperti jeruk dan berukuran kecil, diramu bersama gin tonik untuk merelakskan tubuh.
“Buah kepayang tersebut tidak dimasak seperti yang di sana. Kami coba olah seperti rendang. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara memasak karena pasti akan tergantung dari karakter orang masing-masing,” jelas Rahung.
Dengan berlangsungnya acara ini, semoga dapat membuka mata para generasi Dayak Iban untuk tetap dapat melestarikan budayanya atau setidaknya dalam 20 tahun mendatang kita tetap dapat melihat keberlangsungan “supermarket” alam milik masyarakat Dayak Iban. [ACH]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 9 Agustus 2018.