Musik adalah mesin waktu yang mampu membawa orang ke beragam masa. Dengarlah Deredia. Kita akan terempas ke tahun 1950-an, ketika pop berbaur irama swing dan orang larut dalam goyangan di atas lantai dansa.
Para anggota grup musik ini terinspirasi karya duet Les Paul dan Mary Ford. Kelompok ini lalu bereksplorasi lebih luas. Tak hanya menampilkan pop klasik, mereka menambahkan sentuhan-sentuhan manouche, jazz, rockabilly, ragtime, dixie, dan country. Nama Deredia sendiri berasal dari gabungan kata yang berasal dari bahasa Flores, dere yang berarti menyanyi dan dia yang berarti manis. Deredia ingin menyajikan nada-nada yang manis didengar.
Deredia meluncurkan album pertamanya yang berjudul Bunga & Miles pada perhelatan Java Jazz Festival 2016. Ada sembilan lagu dalam album ini, yang menyajikan tema bervariasi.
Simaklah “Fantasi Bunga”, yang bercerita tentang perempuan rupawan yang tak menikah seumur hidupnya. Pilihan kata dalam liriknya pun menunjukkan masa di mana dia hidup. Frase yang khas, juga gambaran adegan yang menjelaskan latar.
“Bunga… Nikmati nada kala senja. Bunga… Senandungkan istana cinta. Bunga… Nyalakan piringan hitam sambil menari-nari mengayun dengan elok.”
Ada pula “Sugabucks”, lagu yang mengisahkan politisi yang melakukan korupsi. Atau “Sir, Yes Sir” yang mewakili suara pekerja yang merasa tertekan karena bosnya yang otoriter. Kenangan akan masa kecil Louise Monique Sitanggang, sang vokalis yang lahir di Papua, tertuang dalam “Tembagapura”.
Kini, Deredia sedang menyiapkan album kedua yang rencananya rilis Agustus mendatang. Kita tunggu kolaborasi manis berikutnya. [*/NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Juli 2018.