Ini Bahaya Sharenting atau Berbagi Informasi Anak di Media Sosial

by bkrismawan

Jatuh cinta pada buah hati sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hati yang membuncah kala melihat setiap perkembangannya—sekecil apa pun itu—akan mendorong diri untuk mengabadikannya.

Dan rasa bahagia nan haru ini pun memburu hasrat untuk segera membagikannya dengan keluarga, sahabat, dan handai taulan. Dengan teknologi digital, penyebaran informasi ini teramat mudah. Cukup klik “share”, informasi pun terbagikan masif.

Pengertian Sharenting

Sharing (berbagi) dan parenting (menjadi orangtua) kini memang menjadi fenomena dalam gaya hidup digital. Tren ini memunculkan istilah baru, sharenting.

Sharenting adalah aktivitas orangtua menggunakan media sosial secara teratur dalam membagikan berbagai informasi tentang anak mereka.

Selain mengunggah berbagai perkembangan pribadi si kecil, tak jarang berbagai tips pengasuhan anak juga tercantum.

Cara menyapih ASI, lepas dari popok, mengajar anak tidak mengompol, menyiasati saat anak mogok makan, dan masih banyak lagi informasi yang bisa digali dari media sosial.

“Kita dapat belajar hal positif tentang pola pengasuhan dari orangtua lain. Kadang juga ada yang menanyakan solusi dari masalah yang sedang dihadapi lewat media sosial, lalu ia mendapat jawaban dari follower-nya. Dengan demikian, media sosial menjadi forum diskusi,” ujar psikologi keluarga dan anak Nidya Dwika Puteri Psi MPsi dari Askara Pelangi.

Narsistik

Berbagi memang sah-sah saja, tetapi perlu diwaspadai pula adanya dorongan narsistik orangtua melalui media digital.

“Umumnya di kota besar, pengakuan di media sosial menjadi penting. Informasi sebagian besar diambil dari media sosial dan kiblat pada influencer. Nah, ketika berbagi informasi, semua kembali pada masing-masing orangtua. Ada yang memang sekadar berbagi, tetapi ada juga yang demi eksistensi. Jadi dia akan memantau berapa banyak jumlah like dan comment yang didapat dari satu unggahan tentang anaknya. Soal ini, ya hanya orangtuanya yang tahu,” tambah Nidya.

Nidya pun mengingatkan kemungkinan ketika fokus bukan lagi pada tumbuh kembang anak, tetapi bagaimana persepsi lingkungan sosial terhadap seseorang sebagai orangtua.

Bilamana dia tergolong bad parent atau good parent sehingga menimbulkan kecemasan pada diri orangtua.

Orangtua masa kini mengorbankan keamanan keuangan anak-anak mereka di masa depan karena terlalu banyak menginformasikan hal detail anak di dunia maya.

Berbagi informasi memang tak jadi masalah. Hanya, ketika segala sesuatunya menjadi berlebih, tanpa disadari orangtua menyebarkan berbagai informasi detil tentang buah hati.

Seperti dilansir laman BBC, Mei 2018, Barclays, institusi perbankan yang berbasis di London, Inggris, mengungkapkan bahwa orangtua masa kini mengorbankan keamanan keuangan anak-anak mereka di masa depan karena terlalu banyak menginformasikan hal detail anak di dunia maya. Hal ini dapat mengarah pada penipuan secara daring, diperkirakan pada 2030 akan menimbulkan kerugian hingga 667 juta poundsterling per tahun.

Nama lengkap, usia, tempat dan tanggal lahir, alamat, sekolah, hobi, hingga nama ibu si anak dapat terungkap dari berbagai unggahan di media sosial. Jejak digital bersifat abadi, sehingga informasi ini di masa mendatang dapat disalahgunakan untuk melakukan berbagai kejahatan perbankan online. [ADT]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 Juli 2018

Foto: Shutterstock

Share to

Artikel Menarik Lainnya