Saat usia bumi semakin menua, bermacam upaya dilakukan untuk menekan kerusakan lingkungan oleh berbagai pihak. Salah satunya oleh Nursalam, lewat Kedai Daur Ulang.
Kondisi ruangan seluas sekitar 60 meter persegi tersebut bisa dikatakan jauh dari rapi. Kardus dan kertas berserakan di mana-mana, melengkapi atap tanpa plafon yang sebagian dihiasi sarang laba-laba. Belasan bingkai piagam penghargaan dan ucapan terima kasih dipajang seadanya pada dinding bata yang dibiarkan terekspos.
Sementara itu, di sudut ruangan, berseberangan dengan pintu masuk, pria paruh baya yang lebih akrab dengan sapaan Salam tersebut tampak sibuk membolak-balik kertas di atas meja kerja. “Ah, ini dia. Ketemu juga barang dari zaman rikiplik,” katanya bangga sambil menunjukkan buku berjudul Bagaimana Mengelola Sampah.
“Ini buku saya buat tahun ’93. Sebagai bagian dari kampanye bagaimana mengolah sampah. Makanya halamannya sebagian sudah robek dan kuning,” kata Salam.
Daur ulang
Kecintaan dan kepedulian Salam terhadap lingkungan sudah ada sejak ia duduk di bangku SMA. Menjadi pegiat ekstrakurikuler pencinta alam yang kemudian ia lanjutkan dengan masuk organisasi lingkungan hidup independen saat kuliah menambah ilmu dan kecintaannya pada lingkungan.
Bergabung tahun 1983 dan “pensiun” pada tahun 2000, berarti 17 tahun sudah Salam beraktivitas dan menggali ilmu seputar lingkungan di organisasi tersebut. “Saat bergabung, saya diminta untuk menangani lingkungan perkotaan, dengan fokus pada sampah, pencemaran air dan udara. Dua tahun kemudian, saya konsentrasi ke sampah walau saat itu bisa dibilang sampah belum jadi masalah.”
Belasan tahun bergelut dengan sampah, Salam memutuskan untuk membuka usaha daur ulang kertas di kompleks perumahan keluarganya di Mampang, Jakarta Selatan. Ini dilakukan sebagai salah satu bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan. Ia mengaku, daur ulang bukan solusi masalah sampah, tapi setidaknya ini bisa memperlambat kuantitas sampah.
Pilihannya mendaur ulang kertas adalah karena ini bisa dilakukan, baik oleh individu maupun komunitas, dan menggunakan alat sederhana. “Saya dapat ilmu daur ulang sampah ini dari Waste Management Buletin International yang waktu itu dikirim dari Belanda. Saya belajar dari sana dan saya terapkan,” kata Salam.
Bahan baku kertas bekas yang ia butuhkan didapat dari beberapa kantor di Jakarta. Menggunakan alat seperti blender, bak penampung, dan alat cetak, kertas tersebut ia olah dan sebagian dijadikan produk bernilai seperti notes. Pelanggan tetapnya antara lain perusahaan yang punya semangat go green. Kedai Daur Ulang itu juga menjadi tempat belajar dan berbagi ilmu tentang daur ulang.
Salam mengaku senang karena ilmu dan semangat mendaur ulang sampahnya bisa menular ke banyak orang. Termasuk anak-anak yang duduk di bangku TK. “Pernah saya dapat laporan dari TK Embun Pagi. Katanya, anak yang dulu ikut belajar, sekarang minta orangtuanya untuk menyediakan dua tempat sampah di rumah. Maksudnya, supaya sampah-sampah bisa dipilah dari rumah.”
Rencana
Lewat Kedai Daur Ulang, Salam ingin menekankan bahwa bumi yang kita tempati ini bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan dari anak cucu, yang tentu kita tidak mau memberikan yang buruk kepada mereka.
“Sampah itu akan selalu ada, mengikuti jumlah dan gaya hidup penduduk. Ini adalah tanggung jawab bersama, jangan hanya dilihat secara parsial. Dan, jangan melihat sampah sebagai ‘lawan’, tapi ‘kawan” yang akan bernilai kalau diolah. The waste is material,” katanya.
Dalam jangka waktu dekat, pria lulusan sastra Inggris ini berencana mengembangkan usahanya. Tidak hanya mendaur ulang kertas, tetapi juga pelepah pisang dan eceng gondok, supaya hasilnya nanti bisa bervariasi dan bernilai lebih. Diharapkan penghasilannya bisa bertambah, yang ini digunakan agar kampanye lingkungannya bisa lebih berdampak dan menjangkau banyak orang.
“Bayangkan, kalau banyak orang peduli pada kelangsungan hidup lingkungan,” pungkas Salam. [ASP]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 12 Mei 2018