Memaknai Kehidupan Lewat Tari

by bkrismawan

Kelahiran, kematian, kegembiraan, dan kesedihan hanyalah fase yang dilalui oleh setiap manusia dalam kehidupan. Setiap peristiwa tersebut direngkuh dan menjadi bagian yang menempa diri dan membentuk karakter tangguh untuk bertahan dalam setiap tahapan hidup.

Manusia Indonesia mampu mengemas fase-fase tersebut dalam bentuk karya seni yang apik. Senandung lagu, lukisan, patung, dan tari adalah beberapa di antaranya. Sebuah tari tak hanya mengandung makna hiburan dan sekadar untuk dinikmati pertunjukannya, tetapi memiliki makna yang lebih dalam.

Dalam setiap alur gerak koreografi umumnya tersimpan banyak makna dan mengandung cerita tersendiri. Tari Topeng Cirebon, misalnya, yang konon diciptakan oleh Sunan Gunung Jati, ketika menjadi Sultan Cirebon. Saat itu ia mendapat serangan dari Pangeran Welang dari Karawang yang sangat sakti berkat pedang Curug Sewu. Sang sultan memutuskan untuk melawan kesaktian Pangeran Welang dengan diplomasi kesenian.

Dari sini, terbentuklah kelompok tari dengan Nyi Mas Gandasari sebagai penarinya. Setelah kesenian itu terkenal, Pangeran Welang jatuh cinta pada sang penari dan menyerahkan pedang saktinya serta akhirnya mau tunduk pada Sunan Gunung Jati. Seiring waktu, tarian itu dikenal dengan nama Tari Topeng.

Tak jarang, sebuah tarian juga menjadi ungkapan syukur atas keindahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Tengok saja tari Merak, yang begitu populer di Pulau Jawa, baik di Jawa Tengah, Jawa Barat, maupun Jawa Timur dengan penafsiran masing-masing budaya masyarakatnya. Tari klasik tersebut tak lain menggambarkan keanggunan, keindahan, dan kelincahan gerak-gerik burung merak, yang menginspirasi harmonisasi gerak koreografi tarian.

Dari lingkup keraton, kita pun mengenal Tari Bedhaya Ketawang yang konon merupakan wujud cinta Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati (raja pertama Dinasti Mataram Islam). Penarinya harus berjumlah 9 yang melambangkan sembilan arah mata angin, dan konon Ratu Kidul turut hadir ketika pertunjukan tari ini berlangsung.

Keunikan dari setiap budaya yang ditampilkan lewat tarian ini mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan, bahkan tak sedikit yang sengaja memperdalamnya meski berkewarganegaraan asing. Sebuah tarian seolah menjadi pintu untuk mengupas lapisan demi lapisan sejarah, budaya, dan kehidupan yang diwariskan oleh para pendahulu.

Ironisnya, tarian tradisional kerap terpinggirkan, hanya dipandang sebelah mata oleh generasi muda, hingga tiba-tiba diakui menjadi milik negeri tetangga. Satu-satunya cara untuk menghalangi hal itu terjadi adalah memelihara kekayaan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. [ADT]

Foto : Shutterstock.com/Misbachul Munir; Sony Herdiana.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 April 2018.

Share to

Artikel Menarik Lainnya