Pekan lalu, koran ini ngeteh bersama Rere (38), WNI yang sudah 8 tahun merantau ke Negeri Napoleon, Perancis. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Paris pada 2010, ia mengalami kondisi yang mirip dengan saat ini. Salju mengguyur Paris dengan hebat.
“Pada 2010, saljunya lebih dahsyat dibanding Januari–Februari ini. Aku bener-bener bingung saat itu. Yang aku heran, waktu itu malah ada beberapa orang main ski di tengah kota. Kalau tak salah, mereka meluncur di jalan-jalan berkontur di sekitar Montmartre yang tertutup salju tebal,” ungkapnya.
Bagi sebagian orang, lanjutnya, hamparan salju itu menyenangkan. Namun, bagi orang-orang yang saban tahun mengalami musimnya, hal itu tentu memberi kesan berbeda. “Kalau sekadar jalan-jalan pas musim salju mungkin terasa romantis, ya. Tapi, kalau kerja seperti aku ini, ya, sering terasa susah juga. Apalagi aku selalu kena flu setiap musim dingin tiba.”
Rere juga menyinggung kebiasaan turis Indonesia saat berkunjung ke Paris. Menurut Rere, masih banyak yang menghabiskan waktu di sana hanya untuk belanja dan selfie-selfie. “Paris itu kota yang mahal. Pelancong Indonesia yang datang ke sini itu kebanyakan orang mampu. Menurutku, sayang kalau jauh-jauh datang ke sini dengan biaya yang banyak, sampai di sini cuma beli tas atau pakaian seharga puluhan juta rupiah.”
Tatkala di Paris, imbuh Rere, pelancong bisa mendapat begitu banyak pengalaman seni dan sejarah sehingga bisa menjawab pertanyaan: mengapa Paris bisa menjadi begitu sohor dan dijuluki kota paling romantis di dunia? Untuk menyesap kisah-kisah unik yang menyelimuti Paris, sebaiknya wisatawan mau berjalan kaki menyusuri sudut-sudut kota.
Jalan kaki
Lidwina (36) datang tak lama kemudian untuk bergabung menyeruput teh bersama kami. Lidwina adalah dokter dan telah tiga kali mengunjungi Paris bersama keluarganya.
“Waktu pertama kali ke sana, saya ikut paket tur. Jadi, ke mana-mana naik bus yang disediakan. Awalnya saya pikir menyenangkan karena tak repot. Tapi, saya lalu melihat tempat-tempat bagus yang terlewat begitu saja, karena tidak ada di jadwal perjalanan. Rasanya, kok, sayang, ya,” ujarnya.
Maka, saat menghadiri suatu acara di Paris pada musim semi 2016 dan musim gugur tahun lalu, Lidwina bersama keluarganya sengaja membuat agenda perjalanan sendiri di luar rencana terjadwal. “Dua hari saya ikut acara resmi. Tiga hari setelahnya saya bersama anak-anak jalan-jalan sendiri. Saat itu, kami sengaja lebih banyak berjalan kaki dan naik angkutan massal.”
Ternyata, kata Lidwina, anak-anaknya tampak lebih senang. “Anak-anak saya yang masih berusia 4 tahun dan 2 tahun malah lebih gembira. Lebih leluasa. Setiap mereka bilang capek, kami istirahat dulu. Setelah itu, jalan lagi atau naik Metro (kereta dalam kota). Tak terasa kami bisa berjalan kaki cukup jauh dan banyak hal bisa kami nikmati.”
Berjalan kaki dan menumpang Metro juga dilakukan koran ini saat mengunjungi Paris, September tahun lalu. Pada hari kerja, di jam-jam tertentu—mirip di Jakarta—butuh usaha lebih untuk masuk ke gerbong Metro. Penumpang kereta begitu sesak sehingga kita harus ekstra awas untuk menjaga barang bawaan.
Waktu itu, koran ini naik dari Stasiun Chaussée d’Antin La Fayette dan turun di Stasiun Pont Neuf. Waktu tempuh sekitar 8 menit. Koran ini lalu berjalan ke arah jembatan yang konon menjadi titian tertua di Paris, yakni Pont Neuf. Meski tertua, arti nama itu adalah jembatan baru. Panjangnya 238 meter dengan lebar 20,5 meter, terentang di atas Sungai Seine. Di bagian bawah jembatan terdapat konstruksi 12 lengkungan yang disebut arc.
Raja Henry III-lah yang membangun Pont Neuf pada 1578 dan dirampungkan oleh Raja Henry IV pada 1607. Tak jauh dari jembatan ini, berdiri patung perunggu ksatria berkuda yang tak lain adalah sosok Raja Henry IV. Di dekat jembatan juga terdapat dermaga bagi wisatawan yang ingin berlayar menyusuri Seine.
Bagi Angela dan Ricard, turis asal Singapura, yang ditemui koran ini di dekat jembatan, Pont Neuf adalah salah satu tempat yang menguarkan romantisme. Sebab, tak jauh dari sini, terdapat Pont des Arts yang dulu dijuluki sebagai jembatan cinta.
“Dari sini, kami ingin menyusuri ‘segitiga cinta’ yang romantis,” sebut Angela. Apa itu “segitiga cinta”? Koran ini keheranan. Mereka tersenyum. “Itu istilah yang kami buat sendiri. Dari Pont Neuf, kami berjalan kaki ke Taman Luxembourg, lalu lanjut ke Menara Eiffel. Ketiga tempat ini kalau ditarik garis membentuk segitiga,” ucap Ricard.
Koran ini penasaran membuktikan ucapan mereka. Maka, kami pun berjalan sekitar 15 menit melalui ruas Rue Dauphine dan Rue de Conde sampai di Taman Luxembourg. Ini adalah taman yang cukup luas—sekitar 20 hektar—yang rindang dengan ornamen patung-patung dan air mancur. Di sini juga terdapat Istana Luxembourg. Suasananya syahdu sehingga cukup “kondusif” untuk pasangan yang tengah kasmaran.
Dari taman itu, kami berjalan lagi melewati ruas Rue de Babylone. Ini lumayan bikin ngos-ngosan, tapi tetap menyenangkan. Usai berjalan sekitar 40 menit, tibalah kami di Menara Eiffel. Suasananya begitu ramai. Di sini kita bisa mengamati pose-pose unik para pasangan yang sedang berfoto prewedding. Energik sekali.
Itu hanya sejumput gambaran bahwa dengan berjalan kaki atau naik angkutan umum, mengail pengalaman di Paris bisa menjadi lebih kaya. Sebab, masih banyak “segitiga” lain yang menawarkan atmosfer cinta. Di ujung hari, kaki boleh terasa kaku. Badan bisa juga ngilu. Namun, percaya saja, segala peristiwa itu membuat hati kita tak mudah membeku. [TYS]
Foto-foto : Iklan Kompas/Tyas Ing Kalbu
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 12 Maret 2018