Apakah Anda rela mengantre dan menginap di depan toko hanya untuk membeli produk fashion? Mengapa sebuah jaket berharga jutaan bisa laris dalam sekejap? Inilah yang terjadi pada produk fashion streetwear, seperti Supreme.
Di dunia fashion, fenomena hypebeast sudah sangat dikenal. Ini mengacu pada orang yang menggunakan produk streetwear yang sedang hype atau tren. Fenomena ini bahkan membuat produk fashion elegan yang sudah ada mulai melirik gaya streetwear.
Sebut saja beberapa merek streetwear ternama dunia seperti Bathing Ape (BAPE), Palace, Balenciaga, dan Supreme menjadi incaran para hypebeast. Palace, misalnya. Pada 24 Februari 2017, antrean panjang terjadi di blok pertokoan 26 Brewer Street, London, Inggris. Mereka bahkan ada yang menginap untuk menunggu pembukaan toko Palace di Inggris.
Tak berbeda dengan Supreme yang sudah membuka tokonya di London. Ratusan orang rela mengantre menunggu pembukaan Supreme di London. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang rela terbang dari luar negeri. Begitu juga yang terjadi di Singapura pada Juli 2017 di sebuah pertokoan di Orchard. Sebanyak 600 orang rela mengantre, menanti produk kolaborasi antara Supreme dengan Louis Vuitton yang hanya tersedia sebanyak 350 produk.
Berbicara soal streetwear, merek Supreme bisa dikatakan yang paling terdengar. Pasalnya, penggemar Supreme sudah menjadi sebuah subkultur. Mereka memiliki sebuah grup Facebook dan memiliki ruang diskusi bernama Sup Talk yang bebas membicarakan semua hal tentang Supreme.
Kekuatan Supreme luar biasa. Produk bekas pakainya pun masih memiliki nilai tinggi, bahkan tidak jarang ada yang lebih mahal dari harga sebelumnya. Namun, Supreme tidak hanya menjajakan produk fashion. Merek ini pernah menjual produk yang tidak ada kaitannya dengan fashion dengan harga di atas rata-rata.
Supreme pernah menjual linggis bercat merah dengan cetakan huruf sesuai mereknya yang harganya mencapai Rp 4,7 juta. Para pembelinya pun rela mengantre selama 2 hari. Bahkan, Supreme pernah merilis satu batu bata bertuliskan Supreme dengan harga setara Rp 400 ribu.
Dan, gilanya, semua barang itu diburu oleh fans. Barang absurd lain yang pernah dijual Supreme adalah air horn, alat pemadam kebakaran, pemukul baseball, penjepit uang, dan paling terakhir adalah stoples. Tentunya semuanya tidak akan dibanderol dengan harga jenis produk sejenis.
Membuat kelangkaan
Sejak awal, James Jabbia selaku pendiri Supreme ingin memberikan solusi para skater dewasa di New York. Sebab, toko skater pada awal 90-an lebih menyukai melayani kebutuhan skater berumur 13 tahun. Sementara itu, skater dewasa itu tidak ingin terlihat seperti bocah.
James mulai membuat Supreme dengan strategi memproduksi dalam jumlah kecil. Dia juga berkolaborasi dengan banyak pihak, baik dengan sesama streetwear, bersama pelukis, hingga seniman pelopor hentai. Popularitas Supreme semakin meningkat seiring dengan kerja sama dengan berbagai brand dunia, mulai dari Nike, Clarks, dan yang terakhir dengan Louis Vuitton. Namanya terus berkibar saat produknya juga dipakai oleh selebrita dunia di berbagai ajang penting.
Namun, di balik kekuatan merek tersebut, strategi pemasaran Supreme menjadi kunci. Supreme menerapkan strategi kelangkaan. Jebbia mengatakan, kalau sebuah barang bisa dijual 600 buah, Supreme hanya memproduksi 400 buah. Tokonya bahkan membuat aturan, seseorang yang ingin membeli produk lebih dari satu, harus mengantre sesuai jumlah barang tersebut.
Seorang profesor psikologi dari London menjelaskan fenomena ini juga terjadi karena kebutuhan seseorang untuk aktualisasi diri. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini sudah menjadi kebutuhan manusia sejak nenek moyang, misalnya mengoleksi taring binatang buas, batu alam, sampai kulit hewan buruan.
Kebutuhan aktualisasi diri ini juga secara tidak langsung membuat sifat kompetitif terjadi. Kita tentu akan awkward saat bertemu atau berpapasan dengan orang yang menggunakan baju sama persis. [VTO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 Maret 2018