Dunia fashion bergerak dinamis. Ada item fashion yang keberadaannya berganti dengan cepat, tapi ada juga yang bertahan tetap klasik dan keberadaannya tak lekang zaman.
Fashion salah satunya berbicara tentang alas kaki. Manusia sudah memakainya sejak sebelum Masehi untuk melindungi diri, mempercantik penampilan, atau menunjukkan status sosial.
Alas kaki mengalami evolusi. Mulai hanya terbuat dari kulit hewan kini digantikan dengan bahan-bahan kain yang lebih mudah didapat dan diolah. Modelnya pun semakin beragam, disesuaikan dengan kebutuhan.
Pabrik-pabrik sepatu juga banyak bermunculan. Di Indonesia, terdapat sepatu dan sandal “jadul” yang dulu terasa sempat sepi peminat kini kembali mulai digemari oleh generasi muda, Dragonfly atau Kodachi dan sandal Lily.
Simpel dan lentur
Sepatu Dragonfly dan Kodachi menjadi sneaker “jadul” di Indonesia yang saat ini kembali digandrungi anak muda. Bahkan, sneaker ini di kalangan para fashionista muda Malang-Jawa Timur pada 2017 dinobatkan menjadi sneaker favorit. Modelnya yang simpel cocok dipadupadankan dalam tampilan kasual.
Awal mulanya, sepatu ini dikhususkan untuk berolahraga dan kebanyakan yang memakainya adalah pemain bulutangkis atau voli.
Kedua sepatu ini merupakan sepatu anti-slip karena alas kaki sepatu Kodachi berpola lebar. Tak heran jika kebanyakan pemain parkour saat ini juga memakai sepatu ini karena selain ringan, solnya lentur, dan daya cengkeramnya bagus.
Dragonfly, khas dengan warna putih dilengkapi tiga garis berwarna biru dan merah menjadi padanan elegan bernuansa klasik. Dragonfly lebih dikenal dengan nama sepatu capung. Jika ingin memiliki tampilan “jadul” era 80-an, sepatu ini begitu serasi dipadupadankan dengan celana training klasik pendek dan ikat kepala. Atau, dengan celana jeans dan oversized jaket denim.
Sementara itu, sepatu Kodachi mirip dengan Dragonfly tetapi memiliki performa fisik yang lebih kuat karena ada penambahan busa pada bagian bawah tumit kaki. Awalnya Kodachi diproduksi di Jepang sekitar 1980-an. Namun, lambat laun ketenaran Kodachi tergeser brand terkenal asal Eropa dan Amerika pada 1990-an. Sejak itu, salah satu produsen sepatu asal Indonesia mengambil alih proses produksi hingga kegiatan pemasaran Kodachi.
Dragonfly dan Kodachi masih tetap mempertahankan desain klasik dengan fleksibilitas tinggi. Biasanya di mana ada Dragonfly, di sana juga ada Kodachi. Harga kedua sepatu ini pun ramah di kantong, berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 150.000.
Sandal plastik klasik
Lily menjadi merek sandal plastik yang pernah sangat populer di era 70-an. Jika saat ini melihat sandal Lily, pasti kita dapat langsung teringat ke nenek-kakek. Sandal ini memang dulu sering kali terlihat dipakai oleh orang-orang tua. Tak dimungkiri karena memang target pemasarannya adalah orang-orang di atas usia 40 tahun. Namun, karena sekarang gaya “jadul” kembali menjadi tren, sandal yang penggemarnya sempat berkurang kini kembali ada peminatnya dan berusia lebih muda.
Awal mulanya sandal ini juga merupakan produksi Jepang. Satu-satunya distributor di Indonesia kala itu adalah keluarga Sasmita. Ketika prinsipalnya di Jepang bangkrut pada 1968, keluarga Sasmita melihat kesempatan dan kemudian membeli mesin-mesin dan perangkat produksi perusahaan itu dan memboyongnya ke Indonesia.
Sejak itu, sandal Lily tak lagi diimpor dari Negeri Sakura, tapi diproduksi langsung di Mauk, Tangerang, di bawah bendera PT Panasea. Namun, guna mengamankan kebutuhan bahan bakunya, keluarga Sasmita mendirikan PT Panarub Chemical (PC) yang memproduksi karet sandal. PC kemudian berkembang menjadi PT Panarub Industry Co Ltd (PI), salah satu produsen sepatu lokal yang diperhitungkan di Tanah Air dengan mereknya yang cukup beken, Specs.
Keunikan sandal Lily tampak pada tampilannya yang tebal berbahan plastik berwarna biru metalik, hijau metalik, dan cokelat metalik. Salah satu anggota grup band Naif, yakni Emil menjadi salah satu pengoleksi barang-barang “jadul” dan salah satunya sandal Lily ini.
Saat ini memang tak mudah lagi menjumpai sandal Lily secara offline karena toko yang menjualnya tidak banyak, tapi kehadiran toko-toko virtual yang memasarkan produknya via website online shopping kembali menghidupkan pemakai sandal ini, khususnya di kalangan anak muda. [*/ACH]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 1 Februari 2018