Triplogic, Peluang Manfaatkan Bagasi Kosong Menjadi Uang

by bkrismawan

Di beberapa maskapai, para penumpang biasanya diberikan fasilitas bagasi dengan bobot rata-rata 15-30 kilogram. Namun, para pelancong yang membawa barang sedikit biasanya tak menggunakan fasilitas tersebut dan lebih suka membawa barangnya ke kabin pesawat. Padahal, bagasi tersebut bisa “disewakan” sehingga menghasilkan keuntungan.

Baca juga : Ingin mendapatkan penghasilan tambahan dari stiker mobil ? Begini caranya →

Hal ini yang menjadi model bisnis dari start-up asal Bandung, Triplogic. Founder sekaligus CEO Triplogic Oki Earlivan saat ditemui di Jakarta, Rabu (10/1) menuturkan, peluang bisnis logistik di Indonesia masih sangat besar. Peluang tersebut diperkuat dengan meningkatnya pasar e-dagang yang mendorong pertumbuhan logistik di kisaran 20–25 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

“Tantangan umum yang dihadapi pengusaha jasa logistik di Indonesia yaitu waktu pengiriman dan harga. Seiring pertumbuhan pasar, para pemain logistik kini terdorong dengan perilaku konsumen yang menginginkan servis lebih spesifik,” ujar Oki.

Di sisi lain, Oki melihat potensi dari semakin berkembangnya industri wisata di Indonesia. Pria berkacamata ini melihat banyak pelancong yang tidak menggunakan jatah bagasi ketika berlibur dengan pesawat terbang. Hal ini ternyata pernah dialaminya juga.

Oki mengaku sering traveling ke berbagai kota di Indonesia atau luar negeri. Seringkali bagasi pesawatnya tidak terpakai. Di sisi lain, dia sering kali mendapatkan titipan barang untuk diantarkan kepada saudara atau kawan yang berada di tempat yang akan dikunjungi.

“Saat itu, saya semakin banyak mendapatkan titipan sehingga bagasi kosong saya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan uang tambahan. Saya melihat peluang bahwa waktu tempuh logistik dan harga bisa ditekan dengan menggunakan jasa penumpang yang pergi ke tempat yang sama dengan traveler. Di sisi lain, traveler mendapatkan manfaat sosial dan keuangan dari menolong orang lain. Ide yang simpel, tetapi bisa menjadi solusi untuk time of delivery and delivery cost,” jelas Oki.

Nama Triplogic dipilih berdasarkan singkatan dari trip dan logistic. Triplogic merupakan perusahaan teknologi yang memberikan layanan logistik. Mereka menganut konsep peer to peer yaitu menjodohkan antara pengirim barang dan pelancong yang memiliki tujuan sama dengan pengirim barang.

Pengalaman

Amin dan Nikita selaku pemilik toko daring menceritakan pengalaman mereka mengirim paket menggunakan Triplogic. Mereka saat itu membuka layanan pre-order (PO) jasa titip pembelian barang di Berlin, Jerman. Layanan PO diberi waktu hingga 2 bulan. Setelah 2 bulan berlalu, konsumen tentu ingin barangnya segera dikirim. Nikita yang bertugas mengemas dan mengirim akhirnya mencoba menggunakan Triplogic.

“Barang yang dibawa Amin dari Jerman sampai di Indonesia tanggal 17 Desember 2017. Lalu, saya kemas dan kirim barang tersebut tanggal 18 Desember 2017 via Triplogic. Pada hari yang sama, yaitu 18 Desember 2017, barang tersebut sudah sampai di tangan konsumen. Hal ini sesuai jaminan yang diberikan Triplogic yaitu barang dijamin sampai maksimal 24 jam, jika tidak uang akan kembali,” ujar Nikita.

Sementara itu, Ririn, seorang traveler, yang menyewakan bagasinya di Triplogic mengaku mendapatkan keuntungan yang lumayan. Ririn bercerita, Desember yang lalu dia pulang ke Medan dengan menggunakan pesawat terbang.

Iseng-iseng, tiket pulangnya diunduh di aplikasi Triplogic berikut keterangan jumlah bagasi yang akan dia sewakan. Tak berapa lama, muncul notifikasi bahwa ada titipan barang di bagasinya seberat 12 kilogram. Triplogic membanderol bagasinya Rp 25 ribu per 1 kilogram. Karena dipakai 12 kilogram artinya Ririn mendapat Rp 300.000.

“Sebenarnya saya agak sangsi, apa iya dapat hingga Rp 300.000 dari menyewakan bagasi. Apalagi harga tiket saya waktu itu Rp 800.000. Ternyata, setelah barang titipan tersebut diambil dan diantar feeder ke penerima, di aplikasi saya langsung masuk deposit Rp 300.000,” ujar Ririn.

Mekanisme bisnis

Sebagai gambaran, skema biaya pengiriman melalui Triplogic dibagi menjadi empat kelas berdasarkan lama perjalanan. Pertama yaitu perjalanan 30 menit hingga 1 jam 15 menit dipatok Rp  35 ribu per 2 kilogram. Kedua yaitu perjalanan 1 jam 15 menit hingga 2 jam dipatok 40 ribu per 2 kilogram. Ketiga yaitu perjalanan 2 jam lebih hingga 3 jam dipatok Rp 45 ribu per 2 kilogram. Keempat yaitu perjalanan lebih dari 3 jam dipatok Rp 50 ribu per 2 kilogram.

Sementara keuntungan biaya untuk traveler, mereka akan mendapatkan sesuai kelas lama perjalanannya. Kelas 1 mendapat Rp 20 ribu per 2 kilogram, Kelas 2 mendapat Rp 25 ribu per 2 kilogram, Kelas 3 mendapat Rp 30 ribu per 2 kilogram, dan Kelas 4 mendapat Rp 40 ribu per 2 kilogram.

Untuk feeder, penghasilan yang didapat bisa mencapai Rp 3-5 juta per bulan. Saat ini ada sekitar 270 feeder sepeda motor dan 60 mobil van. Selain mendapatkan uang, mereka berkesempatan me-reedem poin di aplikasi Triplogic.

“Total traveler yang sudah terdaftar di Triplogic hingga Jumat (12/1) ada lebih dari 3.000-an orang. Saat ini, layanan kami sudah tersedia di 46 kota yang memiliki bandara di Indonesia. Kami mengambil persentase dari pengiriman barang yang telah dipotong kepada traveler dan feeder,” tutur Oki.

Model bisnis yang diusung Triplogic memang menarik. Selain memanfaatkan “bagasi” orang yang bepergian, baik via pesawat terbang, kereta, maupun mobil, mereka juga memangkas alur pengiriman barang yang biasanya cukup rumit menjadi lebih sederhana. Hal ini yang membuat waktu pengiriman barang lebih efektif.

Namun, bagaimana cara memastikan barang yang akan dikirimkan bukan barang yang berbahaya? Menurut Oki, Triplogic memiliki SOP pengecekan barang yang ketat. Sebelum diberikan kepada traveler, Triplogic melakukan pengecekan awal dengan memindai barang di warehouse. Setelah barang tersebut dipastikan aman, barang akan dipindai kembali di bandara. Dengan dua kali cek, risiko diharapkan bisa ditekan seminimal mungkin.

“Melalui Triplogic kami berharap bisa membantu para pengirim barang terutama para pedagang, baik online maupun offline, tumbuh lebih banyak karena mereka bisa melihat potensi pengiriman menjadi lebih mudah dan efisien. Untuk para traveler, perjalanan mereka akan menjadi lebih ekonomis dengan adanya opsi layanan optimalisasi bagasi. Kami juga berharap terjadinya pemerataan ekonomi dengan meningkatkan partisipasi masyarakat menjadi feeder pengambil barang sehingga bisa mengurangi pengangguran di tengah masyarakat,” pungkas Oki. [INO]

[su_youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=bppdZejLPSA” width=”620″ autoplay=”no”][/su_youtube]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 Januari 2018

Share to

Artikel Menarik Lainnya