Mengenal Lebih Dekat Gejala dan Bahaya Difteri

by bkrismawan

Belakangan ini, ajakan untuk vaksinasi oleh pemerintah terus digaungkan. Merebaknya penyakit difteri hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit menjadi alasan kuat. Mari mengenal lebih jauh tentang difteri.

Mengutip data Kementerian Kesehatan, sepanjang 2017, ada 95 kabupaten dari 20 provinsi di Indonesia yang melaporkan kasus difteri. Jumlahnya mencapai 593 kasus dengan korban jiwa 32 orang. Sontak, kejadian ini menjadi perhatian pemerintah dan mengajak masyarakat untuk melakukan vaksinasi.

Difteri merupakan penyakit kuno yang sudah ada sejak sebelum masehi. Difteri yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae ini masuk ke dalam golongan penyakit sangat menular.

Difteri sendiri mulai diobservasi pertama kali pada abad ke-6 masehi oleh seorang dokter Yunani bernama Aetius. Penelitian pun terus dilakukan hingga akhirnya Edwin Klebs dan Friedrich Loffler pada 1884 berhasil mengidentifikasi bakteri penyebab difteri. Penelitian tentang penyakit ini terus berlanjut hingga pada akhirnay pada 1892 di Amerika, antitoksin difteri berhasil diciptakan dari serum darah kuda. Antitoksin ini kemudian dijadikan vaksin yang dilakukan pada 1920-an, bertepatan dengan mulai merebaknya penyakit ini di banyak negara.

Pola penyebaran      

Difteri bisa menyebabkan kematian karena penyakit ini membuat saluran napas tersumbat dan menimbulkan komplikasi miokarditis, peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah. Selain itu, difteri juga bisa menyebabkan gagal ginjal, gagal napas, dan gagal sirkulasi. Hal ini karena toksin dari bakteri ini sangat berbahaya. Biasanya penularannya dari percikan ludah atau bersin orang yang terinfeksi.

Gejala penderita difteri bisa dikenali dengan dimulainya sakit tenggorokan, demam rendah, dan kurangnya nafsu makan. Tanda ini kemudian diikuti dengan munculnya lapisan keabu-abuan pada hidung atau tenggorokan, serta pembengkakan tenggorokan yang disebut bullneck.

Mengutip dari tribunnews.com, bakteri difteri akan menempel pada lapisan sistem pernapasan dan menghasilkan racun untuk membunuh jaringan sehat. Toksin ini mencegah sel menciptakan protein. Setelah beberapa hari ini, bakteri dapat membunuh begitu banyak sel sehingga jaringan yang mati tadi membentuk lapisan keabu-abuan di hidung dan tenggorokan. Kondisi inilah yang membuat penderita sulit bernapas dan menelan. Kondisi ini akan semakin parah saat toksin tersebut masuk ke aliran darah dan menjangkau jantung atau ginjal. Kelumpuhan bahkan kematian bsia terjadi.

Kenapa mewabah lagi?

Penyakit ini sebenarnya sudah berhasil dieliminasi Indonesia sejak 1990. Kala itu, program imunisasi difteri diberikan sejak bayi baru lahir. Namun, pada 2009, penyakit ini muncul lagi. Kemunculan kembali penyakit ini diperkirakan karena program imunisasi yang tidak lengkap diberikan kepada anak-anak. Selain itu, gerakan antivaksin pun diduga juga menjadi penyebab mewabahnya penyakit ini kembali.

Padahal, difteri bisa dicegah secara efektif hanya dengan vaksin. Namun, pencegahan itu akan efektif apabila capaian imunisasi tersebut mencakup 95 persen dari yang ditargetkan. Ketika cakupan itu tercapai, akan terbentuk kekebalan kelompok yang membuat bakteri tidak bisa berkembang. Jadi bisa dikatakan, 5 persen yang tidak divaksin akan terlindungi dari 95 persen yang sudah imun tersebut.

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, dari 593 kasus difteri pada 2017, sebanyak 66 persen tidak divaksinasi, sementara 31 persen lainnya terkena difteri karena imunisasinya tidak lengkap. Masih banyaknya orangtua yang cenderung menyepelekan imunisasi lengkap. Selain itu, kekurangan gizi akibat kesenjangan sosial dan kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab difteri menyeruak kembali.

Ayo cegah!

Sekarang, pencegahan paling efektif adalah dengan melakukan vaksinasi. Pemerintah pun sudah memastikan ketersediaan vaksin difteri di berbagai pusat layanan kesehatan masyarakat, mulai dari rumah sakit, hingga puskesmas.

Di Indonesia, vaksinasi difteri diberikan sebanyak lima kali, yaitu saat bayi berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18 bulan, dan usia 4 sampai 6 tahun. Sementara itu, vaksinasi untuk dewasa sebaiknya dilakukan setiap sepuluh tahun sekali.

Difteri pun bisa dicegah dengan membiasakan hidup dengan pola hidup sehat dan bersih. Hal yang paling mudah bisa dilakukan adalah dengan membiasakan cuci tangan sebelum makan agar segala penyakit dapat dicegah. Kita juga harus mulai mengonsumsi banyak makanan kaya vitamin dan mineral agar kekebalan tubuh meningkat. Perbanyak juga kandungan asam lemak karena memiliki peran penting untuk otak dan kekebalan tubuh. [*/VTO]

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 Januari 2018

Share to

Artikel Menarik Lainnya